Tiga - Seorang Kakak?

183 25 3
                                    

Ravicha adalah temanku semenjak SMP. Kami bertemu di kelas dua SMP, tidak sengaja saling berbagi meja kelas, lalu hubungan kami berlanjut sampai SMA. Sikapnya yang santai pelan-pelan membuatku mau membuka diri kepadanya. Dia satu-satunya orang yang mengetahui sejarah kehidupanku dulu secara lengkap. Dan Ravicha-lah satu-satunya yang tetap bersamaku walaupun aku sempat jutek dan acuh padanya. Dia tahu bagaimana perubahan sikapku yang mendadak dingin. Paling-paling dia hanya mengomentariku.
“Terlalu sadis caramu, Grey.”
Ravicha lebih senang dipanggil Ravi daripada Icha. Dia orang yang spontan, energik dan berpikiran luas. Dia mudah bergaul. Sangat berbeda denganku, namun entah mengapa dia lebih suka bergaul denganku yang monoton ini. Ravicha juga menjadi alasan kuat kenapa aku tidak mau dipindahkan dari SMA tempatku sekarang. Aku tidak mau kehilangan teman seperti dia.
“Bengong lagi.” Ravicha menyenggol bahuku.
Aku melirik Ravicha sebentar tapi tetap tidak bersuara. Saat ini kami berdua sedang duduk di kursi depan pos satpam sekolah, menunggu jemputan. Lebih tepatnya Ravi menemaniku menunggu jemputanku karena dia ke sekolah naik motor sendiri.
“Ya ampun, aku berteman sama patung.” Ravicha berdecak sebal.
Ravicha menyentuh pipiku dengan telunjuknya, seperti dia sedang berusaha membuktikan ini empuk atau keras ya? Mau tidak mau aku tertawa geli juga.
“Wah, bisa nyengir juga ternyata.”
“Apa sih, Rav?” sahutku setengah jengkel.
“Waw, bisa ngomong juga!” Ravicha pura-pura berdecak kagum.
Aku mencubit tangannya. Dia mengerang kesakitan.
“Bukan patung ternyata, tapi robot cubit-cubitan,” katanya di sela-sela gelak tawa.
Aku hanya menggeleng-geleng melihat ulah Ravicha. Temanku satu ini memang tidak pernah kehilangan cara untuk menghiburku. Hanya dengan dia aku bisa tertawa lepas seperti hidup tanpa beban.
“Masih belum bisa akrab juga?” tanya Ravicha tiba-tiba.
Tanpa bertanya lebih jauh, aku sudah mengerti apa maksud Ravicha.
“Kamu kan tahu sendiri aku paling susah mengakrabkan diri dengan orang asing.”
Ravicha mengangguk-angguk. “Dan itulah alasannya kenapa kamu tidak punya pacar.” Ravicha tiba-tiba mengalihkan pembicaraan ke hal lain. Satu lagi kehebatan Ravi. Dia pandai mengubah topik pembicaraan.
Aku mengernyit. “Lalu apa alasan kamu selama ini juga tidak punya pacar?” tanyaku berbalik menyerang.
“Loh, single itu pilihan. Aku belum mau pacaran karena sekarang waktunya belum tepat. Semuanya akan indah pada waktunya, Grey. Tapi paling tidak aku bertindak lebih baik. Aku mau mengakrabkan diri dengan orang yang ingin dan mau mengenalku. Contohnya saja, aku simpan nomer HP mereka dan sesekali ngobrol. Lalu lihat dirimu, coba lihat berapa banyak kontak yang kamu simpan di phonebook-mu? Bisa dihitung dengan jari kan?” ujar Ravi panjang lebar.
“Jari tangan dan jari kaki dua orang manusia.” Aku mengedikkan bahu. Sekali lagi Ravicha membuat pernyataan yang aneh dengan ‘seberapa banyak nomer HP yang kau simpan di phonebook’. Menurutku itu sama saja menilai seseorang menurut seberapa banyak teman dia di Facebook, Twitter, atau media social lainnya. Padahal, ayolah, banyak juga kan yang berlomba-lomba untuk punya banyak teman di media social, padahal dia sama sekali tidak mengenal orang itu.
Dangkal sekali orang yang menilai orang lain dari segi nominal angka.
Ravicha mengedikkan bahu. Dalam urusan satu ini kami memang sering berselisih paham.
“Tapi orang baru itu baik sekali dan juga tampan. Apa kamu nggak merasa bangga tiba-tiba punya kakak seperti Tio? Kalau aku jadi kamu, aku bakal ajak Tio ke mana-mana dan pamer ke semua orang. Ini kakak aku!”
“Kakak ya? Bahkan itu terdengar aneh di telingaku. Kenapa kamu bisa seperti orang itu? Tiba tiba menyebutnya kakak di depanku,” jawabku ketus.
“Jangan begitu, Grey. Bukankah ini malah menjadi titik balik dari hidupmu? Allah memberimu kehidupan yang lebih baik dengan adanya keluarga baru. Dan katamu sekarang ibumu jadi sering ada di rumah kan? Bahkan dia berhenti dari pekerjaannya dulu untuk mengurus kalian.”
“Mereka bukan kalian,” koreksiku.
Whatever. Ikhlaskanlah, Grey. Hidupmu akan lebih normal jika kamu mengikhlaskan keputusan orang tuamu dulu.”
Aku mendengarkan celotehan Ravi sambil lalu. Anak itu tadi pagi makan apa sih kok bisa-bisanya mendadak bijaksana?
“Jemputan aku udah datang tuh,” kataku pada Ravi tanpa menoleh.
Aku mendengar Ravi menghela napas berat. Aku tahu dia bosan terus menasehatiku. Tapi aku tidak pernah melihatnya lelah menghadapi sikap dinginku.
“Ya sudah. Bye.”
Dia berjalan menuju parkiran tempat dia menaruh motornya. Sedangkan aku berjalan menuju mobil warna hitam yang parkir di depan sekolah.
“Maaf lama,” ucap Tio ketika aku masuk dalam mobil. Dia terlihat menyesal karena terlambat menjemput aku pulang. Aku hanya melirik tanpa berkomentar apa pun. Aku memasang headset di kedua telingaku. Sementara itu Tio malah mengutak-atik handphonenya, belum juga menyalakan mesin mobil.
Lalu aku merasakan getaran di saku kemejaku. Handphoneku bergetar, sepertinya ada yang menelepon. Aku mengecek. Tulisan di layarnya membuatku mengernyit.
Tio calling….
Bagaimana bisa?
“Hehe, kejutan!” seru Tio dengan senyum merekah. “Aku udah menyimpan nomerku di kontak handphonemu. Maaf pas kemarin aku lihat handphonemu ada di meja makan, aku jadi penasaran kamu udah menyimpan nomerku apa belum. Eh, ternyata belum. Ya sudah sekalian saja,” ucapnya panjang lebar diakhiri dengan senyuman.
Aku mengedikkan bahu lalu memasukkan handphone ke dalam saku kemeja. Baiklah, aku akan memberi password supaya tidak ada lagi yang bisa mengakses barang-barangku tanpa izin. Kenapa tidak pernah terpikirkan sebelumnya?
Tio sedikit kecewa karena reaksiku yang biasa saja. Sepertinya untuk tipe cewek pendiam dan tidak mau bersosialisasi sepertiku memang akan lebih menyenangkan bila aku marah.
“Langsung pulang?” tanyanya retoris.
Aku diam saja pura-pura tidak mendengar. Tio menghela napas dan kemudian menjalankan mobil. Aku memandang keluar, mencoba menikmati pemandangan sepanjang jalan, ditemani dengan musik yang mengalun dari handphone.
Dan kejadian pagi tadi terulang. Aku tidak mendengar ocehan Tio. Biasanya orang itu kan selalu bercerita tentang apapun sambil menyetir. Kali ini aku tidak paham alasannya diam saja. Entahlah, mungkin dia menyerah menghadapiku.

**

GREYSIAWhere stories live. Discover now