Lima - Birthday Girl

127 17 0
                                    


Aku sedang bersantai-santai di sofa depan televisi ketika handphoneku berbunyi. Awalnya aku berniat tidak mau mengangkatnya karena kupikir itu dari Tio. Setelah balasan chatku, dia berhenti menggangguku tapi bisa saja sifat kekanak-kanakannya kumat lagi. Jadi kubiarkan benda balok itu bersuara sampai berhenti sendiri. Akhirnya benda itu diam, tapi itu tidak berlangsung lama. Si penelepon tampaknya belum menyerah juga. Selang beberapa detik handphoneku berbunyi lagi. Sial, rutukku.

Aku meraih benda itu lalu melihat layarnya.

Papa calling....

Aku menaikkan alis tidak percaya. Ternyata aku masih menyimpan nomornya, ya?

"Halo," jawabku datar. Aku sangat sadar kalau tidak terdengar nada bersahabat di suaraku. Namun sepertinya Papa tidak menyadarinya karena dia menjawab dengan nada riang seolah tidak terjadi apa-apa.

"Halo, anak Papa!"

Aku mengernyit mendengar panggilannya. Apakah benar Papa masih menganggapku anak? Sudah bertahun-tahun hubungan kami tidak selayaknya papa dan anak.

"Lama sekali rasanya Papa tidak mendengar suaramu. Kenapa kamu nggak pernah menelepon Papa lagi? Papa kangen." Lalu Papa tertawa renyah.

Aku diam saja tidak menjawab. Ada apa dengannya? Bicaranya sok akrab sekali. Aku menunggu sampai Papa mengutarakan alasan utama menghubungiku. Aku ragu alasan Papa menelepon hanya untuk mengatakan bahwa dia kangen padaku. Selama ini dia tenang-tenang saja walaupun kami saling tidak bertukar kabar.

Sadar bahwa aku tidak merespon tawanya, Papa berdeham di seberang sana. "Begini, Grey. Lusa kamu ada waktu? Papa mau mengajakmu makan malam bersama."

Lusa? Aku melirik kalenderku. Itu tanggal lahirku. Hatiku sedikit menghangat. Ternyata Papa masih ingat ulang tahunku. Padahal selama ini aku selalu sendiri di saat ulang tahunku. Sikapku pun sedikit melunak padanya.

"Ya, Papa."

"Nanti Papa kabari tempat kita bertemu ya, Grey."

Klik. Aku menatap layar handphoneku yang menggelap setelah Papa memutuskan hubungan teleponnya barusan. Aku tidak percaya kalau sedari dari jantungku berdetak cepat. Aku mengabaikan sakit hati karena Papa tidak bertanya kabarku. Rasa excited lebih mendominasi hatiku. Aku akan makan malam bersama Papa besok lusa. Walaupun selama ini aku sedikit membencinya, namun sisi hatiku yang lain merindukannya juga.

**

"Zian... lama banget ambil makanannya? Lapar nih."

Aku baru saja pulang dari toko roti ketika mendengar suara ribut-ribut di ruang tamu. Begitu aku masuk rumah aku melihat beberapa anak laki-laki berseragam sekolah Zian sibuk mengelus-elus perut mereka sambil mengoceh kelaparan.

Lalu di mana Zian? Mungkin dia di dapur mencari camilan. Dan seingatku di dapur sedang tidak ada camilan apa pun. Sekarang bukannya Bi Nah dan Mama sedang belanja membeli bahan makanan ya?

Aku melihat sekotak donat yang aku beli. Yah, apa boleh buat sepertinya harus kuikhlaskan kepada anak yang lebih membutuhkan.

"Ada yang mau donat?" sapaku pada mereka.

Mereka menoleh berbarengan lalu menatap kantong plastik yang aku bawa dengan muka mupeng. Muka pengen donat.

"Mau, Kaaak!" jawab mereka serentak.

Anak anak yang lucu, pikirku.

"Nih, bagi-bagi ya." Aku menaruhnya di atas meja. Sedetik kemudian, anak-anak itu langsung menyerbu.

GREYSIAWhere stories live. Discover now