Dua -

170 26 0
                                    


"Aku mau berangkat sekarang," kataku sambil terus melewati Tio dan Zian yang bercanda-canda di depan televisi. Mereka berdua selalu begitu, tingkah Tio bisa jadi kekanakan jika bersama Zian. Kadang-kadang aku melihat mereka saling jitak, kejar-kejaran atau bermain sesuatu. Entahlah, kira-kira apa yang dimainkan oleh dua orang laki-laki? Hmm. Main boneka sepertinya.

Candaan mereka berhenti. Tio melepas Zian lalu mengikuti langkahku keluar. Sebelum keluar rumah aku sempat mendengar teriakan Zian.

"Mamaaa!" panggil Zian pada Mama.

Sekarang Mama jadi sering ada di rumah. Dia tidak sesibuk dulu semenjak memutuskan berhenti dari tempat kerjanya dan beralih profesi menjadi ibu rumah tangga. Toh, pendapatan Om Yustian sudah lebih dari cukup untuk menghidupi keluarga barunya. Tentu saja, karena Om Yustian adalah bosnya Mama dulu. Yep, percintaan antara pimpinan perusahaan dengan karyawannya. Tepatnya antara bos dengan sekretarisnya. Tapi untunglah Mama bukanlah wanita perusak rumah tangga bosnya, seperti yang sering digosipkan tentang para sekretaris wanita. Istri Om Yustian meninggal setelah melahirkan Zian.

Tapi aku sendiri tidak tahu apakah Om Yustian merupakan perusak hubungan kedua orang tuaku dulu. Lebih tepatnya aku tidak mau tahu.

"Jam segini udah mau berangkat apa kamu sudah sarapan?" Tio memulai pembicaraannya begitu kami sudah berada di dalam mobil.

"Udah," jawabku bohong. Aku sangat jarang ikut mereka sarapan bersama. Biasanya aku menyuruh Bi Nah untuk membuat bekal makanan dan aku akan memakannya di sekolah nanti.

"Kapan? Ini baru jam 6. Aku saja belum sarapan."

Aku diam, mengalihkan pandangan ke luar mobil.

"Oh, aku tahu. Jangan-jangan kamu belum mengerjakan PR ya?" sahut Tio sok tahu. Dia ini sangat cerewet dan selalu sok tahu. Apa saja akan dia omongkan dan berusaha untuk akrab denganku. Sayangnya aku belum mau akrab dengannya. Biasanya hanya aku tanggapi dengan mengedikkan bahu atau malah aku diam nggak menanggapi.

Karena Tio menyinggung tentang PR, tiba-tiba aku teringat sesuatu. Aku merogoh-rogoh tasku. Astaga, tidak ada. Gawat, hari ini ada presentasi dan file-nya ada di benda kecil itu.

"Ah, aku lupa bawa flashdisk," ucapku lirih. Aku memperhitungkan waktu yang kuhabiskan jika harus bolak-balik lagi.

Anehnya Tio selalu bisa mendengar apa yang aku katakan meskipun dengan volume super duper kecil. "Oke, kita balik ke rumah lagi, ya." Tio langsung putar balik. Aku mengedikkan bahu tidak heran dengan telinga tajam Tio. Pria itu sedikit mengebut.

Saat aku kembali ke rumah aku melihat Mama, Zian dan Om Yustian sedang sarapan bersama. Zian sangat manja pada Mama. Terkadang aku masih takjub dengan penerimaan Zian pada Mama. Jika melihat interaksi keduanya, pasti tidak ada yang menyangka bahwa Mama adalah ibu tiri Zian. Mama bersikap selayaknya ibu yang melahirkan Zian. Mereka bertiga terlihat seperti keluarga kecil yang bahagia. Sementara aku, anak yang benar-benar dilahirkan dari rahim Mama merasa asing dengan sikap Mama pada Zian. Kapan terakhir kali kami benar-benar mengobrol santai di meja makan? Timbul rasa cemburu di sudut kecil dalam hatiku. Namun segera aku padamkan api cemburu itu dengan mencoba acuh tak acuh.

Aku perempuan kuat dan mandiri. Aku terbiasa sendiri.

Tidak perlu cemburu dengan hal remeh seperti ini.

"Lho Grey? Kok balik lagi?" tanya Om Yustian.

"Ada yang ketinggalan." jawabku tanpa menoleh.

Aku segera kembali ke mobil setelah mengambil flashdisk. Saat itu Tio sedang berbicara dengan seseorang di telepon. Kemudian dia menyetir sambil tetap menelepon. Aku tidak tahu apa yang mereka bicarakan karena Tio selalu menjawab iya, iya dan iya terus. Sampai akhirnya pembicaraan mereka selesai dan Tio mengembuskan napas berat. Dia melirikku.

"Sorry, teman kuliah." katanya. Sekali lagi aku mengedikkan bahu. Siapa juga yang mau tahu?

Suasana hati pria itu tampaknya memburuk setelah telepon tadi. Nyatanya dia tidak mengoceh seperti biasanya. Dia, orang yang kutahu tidak tahan dengan sepi, pagi ini berubah jadi pendiam. Jika biasanya dia akan bersiul atau menyalakan radio ketika kehabisan bahan obrolan, saat ini dia fokus menyetir dan membalas pesan-pesan di ponselnya saat ada di lampu merah.

Aku pura-pura masa bodoh walau sesekali melirik padanya. Kutebak dia sedang bertengkar dengan pacarnya.

Lama hanya saling berdiam diri dalam mobil, akhirnya Tio tidak tahan juga. Ketika sudah mendekati sekolahku, dia memulai pembicaraan satu arahnya lagi.

"Walaupun kamu dingin banget tapi temanmu banyak ya? Nyatanya setiap kali datang ke sekolah ada saja yang menunggumu." Tio terbahak-bahak. Mungkin dia membayangkan 'teman-teman' yang setia berjajar di gerbang sekolah saat aku datang.

Aku memutar bola mata. Dia tidak tahu atau pura-pura tidak tahu?

Itu semua juga karena ulahnya, kan?

Aku ingat dengan jelas bagaimana tingkah Tio saat pertama kali dia mengantarku ke sekolah. Dia dengan tanpa malu menyapa semua siswi yang kebetulan juga sedang berjalan memasuki gerbang sekolah.

"Hai, temennya Grey ya? Tolong jagain Grey selama di sekolah ya," ucapnya dengan senyum lebar.

Aku mencibir di sampingnya. Dia sukses mempermalukanku dan membuatku jadi pusat pembicaraan. Apa dia pikir dia sedang mengantarkan anak kecil masuk ke taman kanak-kanak untuk pertama kalinya? Aku sudah hampir 3 tahun sekolah di tempat ini dan baik-baik saja tanpa pernah meminta siapa pun menjagaku.

Semenjak itu, setiap pagi ada beberapa siswi yang aku tidak kenal, rajin menyapaku ketika keluar dari pintu mobil. Seolah mereka memang mengenalku padahal aslinya mereka hanya ingin melihat wajah Tio yang kata mereka seperti pangeran tampan di negeri dongeng. Tingkah mereka yang sok akrab denganku padahal mata mereka sibuk curi-curi pandang.

Benar-benar merepotkan.

Tio juga tidak tahu bahwa mulanya memang mereka menyambutku, melambaikan tangan, dan senyum-senyum padaku. Tapi lihat saja begitu masuk dalam lingkungan sekolah, satu-persatu akan menghilang hingga tinggal satu orang saja yang menemaniku berjalan menuju kelas.

Orang itu adalah Ravicha. Pernah suatu pagi setelah cewek-cewek itu pergi, aku hanya mengedikkan bahu sedangkan Ravicha tertawa terbahak-bahak. Dia berkata, "Kamu mendadak populer. Aku sampai kewalahan."

Bukan hanya Ravi, aku pun kewalahan. Karena itulah aku memilih untuk datang ke sekolah lebih awal. Daripada harus bertemu dengan teman-teman fana itu. Tapi pagi ini usahaku gagal karena insiden flashdisk tadi. Saat mobil Tio terparkir di depan sekolah, aku melihat beberapa siswi menunggu di gerbang dan menatap mobil Tio.

"Teman-temanmu udah menunggu."

Aku berdecak lalu turun dari mobil Tio tanpa berpamitan.

**

GREYSIAWhere stories live. Discover now