Empat - Mau Mereka Apa Sih?

126 24 3
                                    


Belakangan ini handphoneku jadi sedikit ramai. Ada seseorang yang rajin sekali mengirimiku pesan tidak penting seperti ucapan selamat pagi, siang, malam, atau selamat tidur. Terkadang dia berubah profesi menjadi reporter dalam program acara 'RUMAHKU HARI INI'.

Mamamu beli tanaman baru. Kamu juga suka berkebun seperti Mama?

Mamamu buat pudding! Enak banget, turunlah!

Besok aku dan Zian mau joging, kamu mau ikut?

Zian dapet nilai 10 di ujian matematikanya. Ternyata kepintaranmu menurun padanya ya.

Chat semacam itu, isinya berupa pemberitahuan atau ajakan. Tak ada satu pun yang aku balas. Pernah suatu hari dia mengirimiku pulsa, dikiranya aku tidak punya kuota sehingga tidak bisa membalas pesannya. Padahal jelas-jelas pesannya terkirim. Ingin rasanya aku block nomornya tetapi ketika membayangkan protes panjang yang akan dia ocehkan, kuurungkan niatku.

Tingkahnya seperti anak kecil, padahal setahuku dia sudah berumur 20 lebih. Seorang mahasiswa semester 6 yang seharusnya konsen pada tugas-tugas kuliahnya bukannya rajin mengirimiku pesan sampah macam ini.

Ponselku bergetar lagi. Aku membaca pesan yang masuk lewat lock screen. Baru saja dibicarakan, dia muncul lagi.

Ayolah, apa salahnya sekali saja balas sms kakakmu ini?

Aku memandangi layar handphone jengah. Kenapa orang ini ngotot sekali mengaku sebagai kakakku sih? Tidak mengertikah dia kalau sikap tidak bersahabatku selama ini adalah tanda kalau aku tidak mau mengakuinya sebagai kakak. Betapa tidak pekanya pria ini pada kode penolakan yang kuberikan.

Tapi membaca pesan singkatnya yang cukup memelas, kupaksakan jemariku mengetikkan beberapa kata lalu mengirim balasan. Sepertinya aku memang harus mengatakan dengan lugas supaya pria itu paham.

Jangan chat aku lagi.

Tak lama kemudian muncul tanda centang dua pertanda pesanku telah terkirim. Lalu aku menaruh handphone di meja dan melempar tubuhku ke tempat tidur. Tampaknya pria itu akhirnya mengerti. Dia tidak membalas. Aku kembali mendapat ketenangan yang kurindukan.

Kubenamkan wajahku di atas bantal. Mengapa tidak kulakukan sejak kemarin?

**

"Bagaimana dengan Grey hari ini?"

Langkahku berhenti ketika mendengar namaku disebut. Penasaran, aku pun bersembunyi di balik dinding sambil mengintip. Mama dan Tio sedang berbincang-bincang di ruang tamu. Akhir-akhir ini aku memang sering mendapati mereka berdua berbicara empat mata, namun sebelum ini aku tidak peduli dengan pembicaraan mereka.

"Sama seperti kemarin, Ma," jawab Tio. Lalu Tio tertawa pelan, namun aku tidak mendengar suara tawa Mama.

"Anak itu belum juga bisa menerima keluarga barunya."

"Sudahlah, Ma. Pelan-pelan Grey pasti mengerti. Dia hanya butuh waktu lebih lama lagi."

"Menurutmu apakah Mama terlihat seperti ibu yang nggak bisa menjaga anak kandungnya sendiri, Tio? Bahkan untuk tanya keadaan Grey saja harus melalui kamu."

Tio terdiam. Mama melanjutkan kalimatnya.

"Dulu waktu Mama sangat sibuk bekerja, Mama memang jarang di rumah. Tapi hal itu bukan berarti Mama melupakan Grey. Hampir setiap jam Mama menelepon supir untuk menanyakan keadaan Grey. Apakah dia sudah pulang? bagaimana suasana hati Grey ketika pulang dari sekolah?"

Berita baru. Aku tidak tahu hal itu.

"Dia tidak tahu betapa khawatirnya Mama mendengar bahwa dia sering pulang sendiri. Pak supir menungguinya di depan sekolah tapi Grey selalu menghindarinya. Mama pernah mengikutinya, ternyata dia pulang sendiri naik bus umum. Saat itu Mama nggak berani menghampirinya, karena terlalu takut menghadapi sikap sinis Grey sehingga Mama terlihat seolah-olah menghindari Grey. Padahal ingin rasanya memeluk anak gadis Mama itu dan berbicara seperti layaknya ibu dan anak. Kenyataannya kami bahkan nggak pernah saling bertegur sapa," tutur Mamaku panjang lebar.

Tanpa sadar mataku memanas. Aku teringat masa-masa dulu saat aku dan Mama mulai tidak saling bertegur sapa. Kami tinggal di satu rumah namun seolah tidak melihat satu sama lain. Waktu kami makin jarang beririsan. Aku lebih banyak menghabiskan waktu di dalam kamar sementara Mama tenggelam dalam pekerjaannya.

Terdengar suara isakan lirih. Tio terdiam sejenak.

"Menurut Tio, Mama hanya terlalu canggung, bingung memilih langkah awal untuk mendekatkan diri pada Grey lagi. Tapi yang pasti Tio tahu Mama sangat sayang Grey kan? Tio akan bantu Mama."

Tidak ada jawaban. Yang aku lihat hanya gerakan naik turun dari bahu Mama dan suara isakan tangisnya. Apakah tiap malam Mama menangis karenaku?

Aku bergeming, kedua kakiku enggan beranjak dari tempatku bersembunyi. Sebenarnya ada sedikit dorongan untuk menghampiri Mama di sana namun egoku menolak.

Sudahlah.

Toh, di sana sudah ada Tio yang menghibur Mama.

**

"Non, sarapannya." Bi Nah mengetuk pintu kamarku. Aku keluar dan melihat Bi Nah membawa nampan. Begitulah, setiap hari libur aku selalu menyuruh Bi Nah membawakan sarapanku ke kamar karena aku terlalu malas untuk bergerak ke meja makan.

Aku memandang nampan itu cukup lama sehingga Bi Nah menatapku bingung. "Nggak suka ya, Non? Mau saya buatkan sarapan lain?"

Aku menggeleng. "Bawa kembali, Bi. Aku mau makan di bawah."

"Oh ya ya, Non." Bi Nah menjawab dengan wajah setengah tidak percaya.

Pagi ini tubuhku seolah digerakkan penuh oleh hati kecilku. Aku menuruni anak tangga sembari meremas kedua telapak tangan. Dari sini kulihat mereka sarapan dalam diam. Tenang yang hangat. Rasanya ada yang tercubit di dalam dadaku. Sakit itu masih nyata. Susah payah aku bersikap biasa. Hingga saat aku duduk di kursiku, mereka serentak menoleh. Aku pura-pura tidak peduli dengan menyendokkan nasi goreng ke piringku. Lalu makan dengan santai. Mereka masih memperhatikan segala gerak-gerikku namun aku tidak membalas tatapan mereka.

Mereka pun melanjutkan acara sarapan sambil mengulum senyum.

"Tio dan Zian katanya mau sepedaan ya? Grey mau ikut?" Om Yustian membuka pembicaraan. Dia memandangku.

Aku membalas pandangannya lalu mengedikkan bahu.

"Ayolah, Grey. Kamu kan jarang olahraga. Aku akan menemanimu beli sepeda dulu," bujuk Tio.

"Malas," jawabku sambil mengunyah.

"Grey...."

"Jangan memaksa," jawabku ketus. "Lagipula aku nggak bisa naik sepeda."

"Kata Mama dulu Kak Grey bisa." Zian ikut-ikutan.

Aku melirik Mama sebentar lalu menatap Zian.

"Dulu iya, tapi itu sudah sepuluh tahun yang lalu."

Aku berdiri meninggalkan meja makan tanpa menoleh. Bahkan aku belum menyelesaikan sarapanku. Mau mereka apa sih? Tadinya aku berniat sedikit berbaikan dan membaur. Bukan berarti mereka bisa langsung menarikku ke kehidupan mereka.


**

GREYSIAWhere stories live. Discover now