Satu - Aku Benci Perubahan

201 34 0
                                    


"Nggak mau."

Entah ini sudah penolakan ke berapa yang kuucapkan beberapa hari belakangan. Akhir-akhir ini Mama muncul dengan ide-ide aneh untuk mengubah kehidupanku. Sepagian tadi kami berdebat tentang siapa yang akan mengantar jemputku sekolah. Mama mengajukan nama Tio dan dengan fasih kutolak tanpa pikir panjang.

Coba saja aku bisa setegas ini mengucapkan kata penolakan di depan Mama ketika dahulu dia memberitahuku tentang berita mengejutkan itu, mungkin hasilnya tidak akan seperti sekarang. Terlalu shock membuatku hanya bisa diam dan terpaksa untuk mengikuti rencana Mama. Namun setelah kupikir ulang lagi, bisa jadi percuma saja aku menolak dan memberontak. Apalah dayaku yang hanya seorang bocah ingusan? Aku yakin suaraku sama sekali tidak akan didengar.

Inilah aku. Seorang anak yang nyata tapi tidak terlihat.

Kalau saja aku diberi kesempatan untuk menyuarakan isi hatiku. Ingin kujelaskan pada Mama bahwa aku sama sekali tidak pernah berpikir untuk mempunyai keluarga baru. Apalagi seorang ayah tiri, adik tiri dan kakak tiri. Membayangkannya saja sudah membuatku jengah dan tidak nyaman. Dari dulu aku lebih senang hidup sendiri di rumah. Aku bisa menguasai televisi untuk diriku sendiri. Makan semauku tanpa perlu berbagi dan menunggu orang lain. Selain itu aku berhak menguasai dapur, ruang tamu, ruang makan, kulkas dan segala perabot di rumah untuk kepentinganku sendiri. Dan juga aku bisa menyetel musik sekeras-kerasnya tanpa perlu mempedulikan apakah ada orang lain yang merasa terganggu.

Aku terlanjur nyaman dengan kesendirian.

Namun sekali lagi, apa dayaku? Nyatanya sebuah pernikahan telah direncanakan dengan tiba-tiba dan mengusik kesendirianku. Sangat mengejutkan tanpa memberiku kesempatan untuk berpikir jernih. Pernikahan itu dilangsungkan sederhana. Hanya acara ijab qobul di rumah dan mengundang keluarga dan beberapa tetangga. Saat acara tersebut berlangsung, aku memilih duduk di pojokan sambil memperhatikan semua wajah bahagia yang terpancar dari semua tamu undangan.

Mama menikah dengan seseorang yang belum terlalu aku kenal. Namanya Yustian, dia seorang pengusaha mebel. Dia seorang duda dan mempunyai dua anak lelaki. Istrinya meninggal ketika melahirkan anak bungsunya. Setelah pernikahan mendadak itu, aku diharuskan ikut pindah ke rumah suami baru Mama. Di rumah itu aku dipaksa harus hidup berdampingan dengan dua anak lelaki suami Mama. Si bungsu bernama Zian. Dia bocah berumur 9 tahun yang sangat aktif mulutnya. Sedangkan anak sulungnya berumur 21 tahun. Yang kutahu dia bernama Tio, mahasiswa jurusan Ilmu Komunikasi. Sejak pertama kali bertemu dengannya, aku sudah membenci pria itu. Senyum yang tidak pernah hilang dari bibir tipisnya itu membuatku risih.

Kalau kuumpamakan diriku sekarang ini bagai baru saja mengalami kecelakaan tragis. Aku kaget, terguncang lalu tidak sadarkan diri selama beberapa waktu. Begitu aku tersadar, hidupku dipenuh dengan orang-orang asing. Aku terseret ke dimensi yang jauh berbeda dengan dimensi nyamanku. Dimensiku yang dulu sepi dan kosong sekarang menjadi ramai dan memusingkan.

Mama mengenalkanku pada Om Yustian–aku belum siap memanggilnya dengan sebutan Ayah, sebulan sebelum pernikahan mereka. Saat itu mereka sudah merancang pernikahan sederhana tanpa memberitahuku terlebih dahulu. Dan itu sangatlah menyakiti perasaanku. Aku sama sekali tidak dianggap. Entahlah, bisa jadi Mama takut aku menentang keras pernikahan mereka sehingga dia merancang secara diam-diam lalu memberitahuku ketika semuanya sudah selesai. Mama sangat tahu sifat kerasku.

Kuakui ayah tiriku adalah orang yang baik, ramah dan perhatian. Hanya saja sifatku memang kurang bisa bergaul dengan mudah dengan orang baru sehingga aku masih susah untuk dekat dengannya. Berbicara dengannya saja aku jarang dan enggan. Tetapi tampaknya ayah baruku itu terlalu perhatian kepadaku hingga dia memunculkan ide untuk memindahkan sekolahku ke tempat yang lebih baik. Tentu saja aku menyuarakan penolakan dengan keras.

Aku mengancam akan keluar dari rumah dan terus berkelakuan buruk selama di rumah. Tidak tahukah dia kalau aku termasuk orang yang susah dalam bergaul? Di sekolahku yang lama saja, hanya sedikit orang yang betah berbicara denganku. Bagaimana jadinya kalau aku pindah ke lingkungan baru dan harus bersosialisasi lagi? Konyol. Untungnya aku baru saja memasuki tahun ketiga di SMA. Jadi aku punya alasan yang masuk akal untuk menentang kepindahan sekolahku.

Pada akhirnya aku tetap diperbolehkan sekolah di SMA lamaku dengan syarat aku harus diantar jemput oleh Tio. Oh ayolah, sejak kapan Mama peduli padaku? Dulu dia tidak pernah peduli aku pulang sekolah jam berapa dan naik apa. Memang sih dia menyiapkan supir pribadi yang siap mengantar jemputku, tapi apakah Mama pernah tahu kalau aku sering meninggalkan Pak Tarno di sekolah karena diam-diam pulang lewat pintu samping sekolah dan memilih untuk naik bus umum ke rumah.

Aku sudah hampir menginjak 17 tahun, jadi seharusnya tidak memerlukan supir pribadi lagi. Dijemput supir saja aku malas, apalagi dijemput Tio-yang untuk mengenal saja aku juga malas. Makin mantap alasanku menolak mentah-mentah.

"Lalu bagaimana dengan Pak Tarno?" debatku.

"Pak Tarno jadi supir pribadinya Zian." jawab Om Yustian dengan senyumnya. Like father like son, Om Yustian dan Tio itu sama-sama suka tersenyum. Membuatku jengah.

Kali ini penolakanku dengan cepat dipatahkan oleh Om Yustian.

Aku memicingkan mata. Jadi tiap satu orang punya satu supir pribadi. Pak Tarno jadi supir Zian, jadi boleh dong kalau Tio kuanggap jadi supir pribadiku. Terus apakah boleh aku duduk di belakang saat Tio menyetir? Tentu saja tidak. Tio langsung marah ketika aku membuka pintu belakang mobilnya. Aku sudah mencobanya di hari pertama dia mengantarku ke sekolah.

"Apa yang kamu lakukan? Duduk di depan, aku ini kakakmu bukan supirmu," katanya mengaku-aku kakak. Saat itu aku baru beberapa hari tinggal serumah dengannya, dan aku yakin tidak akan akur dengan orang ini.

Sejak itulah kehidupanku berubah 180 derajat. Ada begitu banyak hal yang terjadi di masa remajaku. Aku selalu benci dengan adanya perubahan. Selama ini aku hidup dengan monoton, aku mengulang-ulang hal yang sama setiap harinya tanpa semangat. Begitulah aku.

Aku benci dengan rumahku yang sekarang. Itu bukan rumah untukku karena aku sama sekali tidak merasa nyaman di dalamnya. Rumah harusnya menjadi tempat pulang. Dan aku ingin pulang ke rumahku yang dulu. Terlalu banyak kenangan di rumah itu—walaupun tidak semuanya menyenangkan. Kenangan masa kecilku yang sempat bahagia. Kenangan masa-masa pertengkaran kedua orang tuaku. Dan kenangan masa kesendirianku karena ditinggalkan Mama dan Papa. Sayangnya rumah itu sudah dijual Mama. Aku sudah tidak bisa tinggal di sana.

Rasanya akan lebih baik jika aku sekolah ke luar kota, kos sendiri atau apa pun, intinya meninggalkan mereka semua. Memulai segalanya sendiri.

**


Udah bisa tebak ya, prolog kemarin pakai sudut pandang siapa? Untuk ke depannya aku pakai sudut pandangnya Grey sebagai tokoh utama. Semoga nggak bingung ya. 

GREYSIAWhere stories live. Discover now