Bak Tersambar Petir Di Siang Bolong

330 21 0
                                    

Satu tahun telah berlalu sejak kecelakaan tempo hari.

Sekarang tubuhku sudah berangsur membaik. Dan sudah mulai melakukan aktivitas seperti dahulu.

Semua berjalan dengan sebagaimana mestinya, seperti pernikahan Adhira dengan Sertu Danar  yang sekarang sudah memiliki jagoan kecil berumur 1 bulan yang bernama Pranadipa Ravindra Wijaksana.

Hubunganku dengan Mas Dharma pun masih berlanjut, oh ya setelah dia menghilang berhari-hari saat aku sudah siuman ternyata ponselnya hilang sehingga tak dapat kabar jika aku sudah siuman, dia datang menjenguk berselang 2 hari setelah adhira menjengukku.

Semuanya baik baik saja setidaknya sampai detik ini. Aku sekarang sudah semakin sibuk di kantor. Dewasa ini sudah semakin banyak suplemen makanan yang beredar tanpa izin dari BPOM yang hanya mengandalkan tes lab.

Selain itu aku juga  sibuk mengurus naskah cerita fiksi-ku ke penerbit. Sudah 2 kali naskahku ditolak, huft sad.

Semua datar datar saja sampai perutku merasakan sakit yang luar biasa yang sudah beberapa bulan aku rasakan ini. Dan ya bukan hanya sakit perut tapi keputihan yang disertai bau tak sedap. Karena kesibukanku aku tak sempat memeriksakan diri.

"Bu Nisa, proposalnya sudah saya taruh di meja ibu." Ucap salah satu staf saatku lewat.

"Iya nanti saya lihat." Jawabku tersenyum simpul sembari menahan sakit yang kurasa ini. 

"Bu Nisa!"
Tiba tiba dunia gelap aku tak melihat apapun, hanya suara teriakan yang ku dengar.

***

'Dimana ini?'

Aku tersadar di sebuah ruangan yang serba putih, kepalaku pening sekali belum lagi perutku yang teramat sakit ini.

"Nia lu udah sadar?" Tanya Adhira, eh kok ada Adhira di sini?

"Kok lu disini Ra?"

"Itu gak penting, lu ya bikin orang khawatir aja!" Ucapnya dengan setiap kata di tekan. Aku tahu Adhira ini sangat khawatir, semua itu terlihat dari matanya, nada bicaranya aku sudah hafal bagaimana Adhira ini.

"Nia, lu kenapa nyembunyiin ini semua dari gue. Lu anggap gue ini apa?"

Adhira ini kenapa sih?

"Hah? Nyembunyiin apa?"

"Please Nia, lu gak usah pura pura. Gue tahu lu kuat tapi gak gini." Air mata Adhira membanjiri pipinya.

"Gue gak paham maksud lu Ra."

"Sejak kapan lu sembunyiin ini semua?" Lagi lagi Adhira menanyakan hal yang bahkan belum kupahami maksudnya. Dia mengatakan dengan air mata yang terus mengalir.

"Sejak kapan lu sembunyiin penyakit ini? Ini kanker rahim Nia, dan ini udah stadium 3. Kenapa lu gak pernah ngasih tau gue?"

Sebentar apa kata Adhira, kanker rahim? Stadium 3?

"Maksud lu apa? Lu gak bercanda?"

"Kok lu nanya gue sih?"

"Adhira, sumpah demi allah gue gak tahu kalau ternyata gue kena kanker rahim stadium 3."

"Hah? Yang bener Nia, masa lu gak tahu sih?" Ucap Adhira sembari menghapus air matanya.

"Bener gue gak tahu, emang sih udah beberapa bulan gue ngerasa perut gue sakit banget belum lagi keputihan yang menurut gue gak wajar. Tapi gak gue peduliin, gue terlalu sibuk sama kerjaan gue dan ya naskah yang mau gue kirim ke penerbit."

Adhira melihatku seolah tak percaya dengan apa yang kukatakan.

Aaggghhh! Ini semua salahku kenapa aku tak peduli dengan kesehatan ku sendiri.

Tak terasa air mataku mengalir begitu saja. Kenapa harus aku yang merasakan ini? Ya allah cobaan apa lagi ini?

🌸🌸🌸🌸🌸🌸🌸🌸🌸🌸🌸
TBC

Agnia Divyanisa Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt