Takdir Kedua

88 5 8
                                    

Ketika takdir mulai bermain-main bisakah ia menghindarinya. Setidaknya jangan membuat hati ini patah kembali

HAPPY READING

Jangan lupa vote dan komen. Saran sangat diperlukan. Jika ada typo ataupun kata-kata rancu mohon dimaafkan.

*

*

*

Senyum itu kembali menghiasi mimpi-mimpi Syabil. Dan Syabil membenci kenyataannya. Ia hanya bisa memiliki Jung Hoseok dalam mimpinya. Sedangkan di dunia nyata Jung Hoseok milik semua orang. Syabil menghela napas sebelum beranjak dari tempat tidurnya.

Setelah hari dimana ia dan Nata dipertemukan, Syabil resmi menjadi anak bungsu di keluarga Arkan. Orang tuanya sudah memiliki keluarga masing-masing. Lagipula Rani, mama Arkan sudah meminta ijin pada Nita mama Syabil untuk merawat Syabil. Syabil senang tentu saja. Ia juga tidak nyaman jika harus tinggal bersama keluarga kecil mamanya yang baru.

Hari ini adalah hari pertama Syabil masuk sekolah yang baru. Seminggu setelah berpisah dengan teman-temannya ia kembali ke Jakarta dan harus beradaptasi dengan lingkungan yang baru. Semoga hari-hari di sekolahnya menyenangkan. Apalagi ia sudah menjadi siswa tingkat akhir.

Syabil beranjak dari kasurnya dan segera ke kamar mandi untuk mencuci muka. Setelahnya Syabil salat Subuh. Udara Jakarta tak sesejuk udara di kota kelahirannya. Tapi tetap ia bersyukur.

Sudah hampir dua jam Syabil masih di dalam kamar. Satria bahkan telah menggedor pintu kamarnya. Tapi ia masih saja belum beranjak dari tempatnya. Ia sudah mengenakan seragam rapi tak lupa kerudung yang menghiasi kepalanya. Ia hanya bingung bagaimana ia berinteraksi dengan teman-teman sekelasnya nanti. Terkadang ia bingung dengan dirinya. Sebenarnya ia itu orangnya pemalu atau malu-maluin. Selabil itukah dirinya.

Ia menatap cermin dan berusaha menampilkan senyumannya. Ia tidak boleh terlihat sedih. Ia juga harus memanipulasi matanya agar terlihat bahagia.

"Dek udah setengah tujuh. Cepetan turun sarapan. Nanti telat loh!" teriak Rani dari lantai bawah.

"Iya mah!" jawab Syabil dengan teriakan juga.

Syabil bergegas ke meja makan. Di sana sudah ada Papa, Mama, bang Arkan, mbak Kila, dan bang Satria. Ia menyunggingkan senyumnya. Ia bahagia walau bukan dengan keluarga kecilnya. Ia bahagia dengan sarapan pagi ini. Tidak seperti hari-hari lalu. Setidaknya percakapan pagi hari selalu menjadi hal yang sangat ia sukai. Bukan bentakan marah ataupun tangisan yang mengundang amarah.

"Selamat pagi semuanya," sapanya.

"Pagi dek gimana tidurnya nyenyak?" tanya Rani.

"Nyenyak mah. Kan kemarin ditemani mama jadi Abil tidurnya nyenyak sekali," jawabnya jujur.

"Hari ini abang akan mengantarmu sekolah. Besok atau lusa saja pakai sepeda barunya. Oke," ucap Satria.

"Yah padahal kan Abil pengen pake sepedanya." Raut wajah Syabil berubah drastis. Hal yang diinginkannya terpaksa diundur. Padahalkan ia malah tidak merepotkan.

"Kamukan belum hafal jalan di Jakarta dek. Nanti kamu hilang gimana?" sahut Arkan.

"Yaudah deh Abil ngalah."

Setelahnya mereka sibuk dengan makanan masing-masing. Syabil berpikir setelah ini semua akan baik-baik saja. Karena disini ia mendapatkan kehangatan yang dulu pernah hilang. Walau tidak sama tetapi bisa menghangatkan hatinya yang telah lama mati.

Aku Kamu dan Patah HatiWhere stories live. Discover now