ADISA | 23

2.2K 67 10
                                    

Kembali lagi bersama Adisa dan Alano yang masih anget-anget taik ayam~

Siapin hati agar tidak ikut mengumpat ya, soalee akan ada banyak kata kasar di bawah ini.

Buat reader yang baik hati pasti kasih vote dan komen 😏

Happy reading!

.

Adisa Karina tidak pernah berangkat sekolah sepagi ini sebelumnya. Entah setan apa yang merasukinya di hari Rabu pagi yang amat cerah -karena mentari sama sekali tidak segan untuk menyinari kota Jakarta- hingga pukul enam pagi pun, dia sudah duduk anteng di dalam mobil Panji. Laki-laki berkemeja biru yang sedang mengemudi itu pun, dibuat keheranan. Anaknya sudah memakai kemeja batik dan berdandan cantik, saat ia memasuki kamar Adisa untuk membangunkannya. Lebih-lebih saat anak gadisnya itu meminta mereka untuk berangkat lebih awal. Bahkan sarapan yang biasanya hanya setangkup roti dan susu atau kopi untuk Panji, berganti menjadi bubur ayam yang mangkal di depan komplek. Panji hanya bisa tersenyum kecil saat tangannya dicium oleh Adisa di depan gerbang sekolah.

"Tolong, ya, anak Ayah yang cantik. Jangan suka bikin pusing guru-guru. Ayah juga pusing kalau dapat laporan Whatsapp terus menerus dari wali kelas kamu." Diusapnya pelan puncak kepala Adisa, bibirnya mengulas senyum saat sang anak hanya meringis. "Oh iya, kalau mau bantuin Hafis beresin buku-buku nggak apa-apa, kok. Asal bukan karena alasan hukuman dari Pak Kirman, ya? Bisa?"

Masih meringis, Adisa menggeleng pelan. "Nggak janji, Yah." Dirinya tak menyangka, jika sang ayah ternyata tahu perihal kebiasaanya membantu kakak sepupunya itu. Kira-kira darimana, ya? Apakah wali kelasnya itu memang selalu melapor pada Panji setiap Adisa mendapat hukuman dari para guru? Padahal, Adisa pikir, Panji terlalu sibuk mengurusi pekerjaan daripada tingkah badung anaknya di sekolah.

Berlalu dari hadapan Panji, Adisa berjalan seorang diri menuju kelasnya di lantai dua. Suasana sekolah yang masih agak lengang membuatnya merasa leluasa untuk berjalan. Setelah menyandang status menjadi pacar Alano, agaknya ada saja yang menatapnya tak suka sepanjang lorong. Meskipun ia tidak terlalu mengambil pusing, tapi tetap terasa risih dan menyebalkan.

Setibanya di kelas, kedua matanya membulat. Sosok sang ketua ekskul basket yang masih berseteru dengannya, bersender sambil menutup mata dengan telinga tersumpal earphone di kursinya. Sejenak perempuan berambut sebahu itu bingung, harus melanjutkan langkah ke tempat duduknya, atau memutar badan untuk menunggu sampai anak-anak di kelasnya memenuhi ruangan.

Namun, sebelum Adisa memilih pilihan kedua, panggilan lantang dari Reza menghentikan langkahnya.

"Gue minta maaf."

Laki-laki berambut plontos yang sejak kemarin uring-uringan itu menghampiri Adisa yang berdiri kikuk di depan kelas. "Omongan gue kemarin terlalu kasar, Dis. Gue emosional dan akhirnya malah ngomong yang berlebihan."

"Ya."

Reza menatap dalam Adisa. Dengan perasaan yang tak karuan, ia memaksakan sebuah senyum hadir di bibirnya. "Ini pertama kalinya kita berantem beneran, ya, Dis? Biasanya lo, 'kan, cukup pukul kepala gue kalau marah. Bukannya ngambek sampai nggak baca chat sama angkat telfon sama sekali."

Mengangguk, Adisa mengiyakan. "Udah, 'kan?" tanyanya singkat. Sejujurnya, ia merasa amat canggung hanya berdua saja dengan Reza. Setelah pertengkaran kemarin, Adisa sulit untuk bersikap biasa saja. Meskipun bibirnya bisa mengucapkan kata memaafkan, nyatanya, dalam hatinya masih ada ganjalan.

"Dis," tangan Reza menahan Adisa yang berbalik. Rasa dingin dari telapak tangan sahabat-tapi-cinta-nya itu membuat Reza sedikit terkejut. "Lo, okey?" tanyanya khawatir kalau-kalau perempuan itu sedang sakit.

ADISATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang