Flashdisk || 4. Putus

140 40 25
                                    


Minggu pagi kali ini tidak seperti kemarin. Biasanya jam segini Aksa sudah berada di alun-alun kota, menggenggam tangan Mita, dan mengayunkannya perlahan. Yang dilakukannya hari ini justru berbanding terbalik dengan hari-hari kemarin.

Aksa berdecak. Melempar ponselnya ke sisi ranjang. Menarik selimut. Ia mencoba tidur lagi tapi tak bisa. Pikirannya menginginkan dia untuk menemui Mita, menyelesaikan semuanya. Tapi hatinya bilang jangan pergi, tetap tunggu saja kabar darinya.

Aksa tak mau dikata lelaki yang tak gentle, seharusnya dia yang mengirim kabar, malah dia yang menunggu kabar.

Mau gimana lagi. Tetap diam disini sambil menunggu balasan pesan nggak bakal bisa merubah semuanya. Sudah hampir seminggu pula. Di sekolah Mita pun nggak masuk, mungkin pekerjaannya belum selesai atau hal lain. Yang jelas tidak ada kabar. Aksa nggak mau uring-uringan terus kayak gini. Minta maaf adalah jalan terakhir.

Aksa bangkit, menyambar handuk, lalu bergegas membersihkan diri. Tak perlu waktu lama. Kini ia sudah berdiri di depan cermin, merapikan rambutnya yang masih setengah basah. Kaos tidurnya diganti dengan kemeja putih lengan panjang dan jaket hitam.

Lantas ia menyambar kunci mobil di atas meja belajar.

"Astaga!" pekik Aksa kaget, begitu pintu kamarnya dibuka. "Bunda ngapain disini? Nggak langsung ketuk kamar aja, malah cuma berdiri."

"Ini bunda mau ketuk, mau bangunin kamu. Eh, taunya nongol duluan." Mia menatap Aksa dari ujung kepala hingga ujung kaki, lalu balik lagi ke kepala.

Aksa mengernyit heran. Mengikuti arah pandang Mia yang seperti menginterogasi penampilannya. "Kenapa sih, Bun?"

"Rapi begini, wangi lagi. Mau kemana?"

"Mau ngecrek-ngecrek di lampu merah," jawab Aksa ngasal.

"Yang bener, dong. Biasanya kamu kalau keluar pas weekend gini cuma pake kaos buat olahraga." Mata Mia menyipit. "Oh, atau jangan-jangan mau ketemu cewek, ya? Mau kencan ya, kan?"

Aksa mendelik salah tingkah. Pasalnya, selama berpacaran dengan Mita, dia belum pernah mengajak gadis itu kerumahnya bahkan belum mengenalkannya pada Bunda.

"Apa sih, Bun."

"Gausah ngeles. Bunda juga pernah muda kayak kamu. Yasudah sana, sarapan dulu itu di dapur."

Aksa mengangguk. Turun menuju dapur dengan senyum yang mengembang. Mia sudah membuat mood nya sedikit lebih baik.

"Loh den, saya buatin susu dulu, ya," ujar Bi Mirna.

"Boleh, bi." Aksa membuka pintu kulkas, berjongkok, memilih buah-buahan yang cukup banyak tersimpan di sana, dan berakhir dengan satu buah apel di genggaman.

Usai meneguk susunya sampai habis, ia menuju garasi. Tempat mobilio nya terparkir apik.  Aksa mengernyit, tak mendapati sedan ferarri yang kemarin masih ada disini, di sebelah mobilnya. Tanpa bertanya pun ia sudah tau. Sudahlah, tak perlu memusingkan hal itu. Yang penting mobilnya masih ada, meski tak setara jika dibandingkan dengan mobil ayahnya.

Aksa menginjak pedal gas, membawa mobilnya menjauh. Melewati ramainya lalu lintas, hingga kembali berhenti di sebuah toko bunga.

"Cari bunga apa, kak?" sapa seorang wanita penjaga toko begitu Aksa masuk.

"Hyacinth."

"Ada. Disebelah sini. Mau yang warna apa?"

"Biru sama ungu."

FLASHDISK Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt