10. Lebih Baik Seperti Ini

177 3 14
                                    

"Buatmu, Beb," ujar Mila sambil meletakkan sebotol air mineral di atas meja, di hadapanku.

Mila, gadis berkerudung asal Surabaya yang kini jadi teman baruku. Tubuhnya tidak terlalu tinggi dan pipinya sedikit chubby membuatnya terlihat manis dan menggemaskan. 'Beb' memang sapaan yang sering ia lontarkan, hampir kepada siapapun yang ia anggap dekat.

"Thank you, Beb," jawabku, membalasnya juga dengan sapaan 'Beb'.

"Iiih... Rena doang yang diambilin," ujar Aryo melihat Mila mengambilkan sebotol air untukku.

"Ambil sendiri, lah. Itu di meja belakang," ujar Mila menunjuk meja yang dipenuhi botol-botol air mineral.

Ya, seperti inilah kebiasaan kami setiap pagi sebelum kelas dimulai. Mengambil sebotol air yang sudah disediakan di meja belakang kelas, untuk kebutuhan minum kami selama materi training.


"Mbok ya sekalian, gitu lho," lanjut Aryo dengan logat Jawa-nya yang masih kental sekali.

"Yaudah, ini buatmu. Aku ambil lagi. Untung lagi baik lho aku hari ini," ujar Mila sambil memberikan botol air mineralnya yang belum sempat ia buka.

"Naah... Makasih yo, Mbak," ujar Aryo sambil cengengesan.

Mila dan Aryo memang layaknya 'Tom and Jerry', ada saja yang mereka ributkan. Sebenarnya Aryo juga asli Surabaya, sama seperti Mila. Tapi Mila nggak mau kalau disama-samakan dengan Aryo. 'Pokoknya beda Surabaya-nya' pasti begitu jawab Mila. Ada-ada saja mereka.


"Ssssttt... Kalian jangan ribut. Gue lagi baca materi lho, ini," ujar Juan yang sejak tadi masih sibuk membaca materi di handphone-nya untuk persiapan menghadapi training hari ini.

Iya, Juan. Cowok Batak dengan sedikit darah Jepang yang heboh dan super aktif. Sebenarnya keturunan Jepang-nya sudah jauh sekali dari kakek-neneknya. Bisa dibilang, Juan sudah nggak ada Jepang-Jepang-nya. Dia lahir dan besar di Medan, jelas darah Batak yang mengalir lebih deras dalam dirinya. Namun berbeda dengan Robby yang selalu mencari gadis-gadis Batak, Juan malah nggak mau punya pacar dari suku Batak.

"Si Ju ini emang paling ambis. Kayaknya 3,9 IPK-nya dia kemarin waktu kuliah. A semua nilainya," sahut Robby.

"Harusnya 4,0 IPK-nya. Emang biar nggak sombong aja, dia minta turunin dikit," candaku menambahkan.

Kami tertawa. Juan memang sangat hobi belajar, sejauh ini nilai-nilai test-nya selama training juga selalu tinggi.


"Golongan darahmu apa Ju?" tanya Aryo kemudian.

"A, kenapa?" sahut Juan.

"Untung A. Kalau B, pasti kau minta lahir ulang. Pokoknya sampe A," jawab Aryo.

Lagi-lagi kami tertawa.

"Hahaha... Emang paling bisa kau ya, Yo," ujar Juan.


Kamu nggak salah baca, kok. Iya, Robby juga ada di sana. Begitulah kami, aku, Mila, Aryo, Juan, dan Robby yang akhirnya disatukan di satu meja training yang bundar dan bertaplak biru itu. Entah apa yang akhirnya menyatukan kami berlima. Mungkinkah karena kami yang masih sama-sama jomblo? Atau memang karena selera humor receh kami yang sama?

Duduk satu meja dengan Robby seharusnya adalah hal yang sudah lama kutunggu-tunggu, namun sekarang biasa saja rasanya. Bahkan sudah seminggu ini kami berlima selalu duduk satu meja. Pagi, siang, hingga sore kami bertemu. Bercanda, tertawa, saling mengejek, atau bahkan serius membahas materi training. Aku mulai terbiasa dengan keadaan ini.

Sebuah fenomena aneh yang entah harus aku syukuri atau sesali. Tanpa perasaan itu, kini aku bisa dengan tenang membicarakan apa saja dengan Robby. Duduk satu meja dengannya di kelas dan satu meja dengannya saat makan siang sudah bukan hal yang asing untukku.


***


Bukan sekedar satu meja, hari ini Robby bahkan duduk di sebelahku. Tepat di sebelah kananku, persis seperti hari pertama kami berkenalan. Dan ada satu momen sederhana yang tak terlupakan hari ini. Setelah makan siang, seperti biasa, kami kembali ke kelas sambil menunggu sesi training berikutnya dimulai.

"Masih ada lho, ini coklatnya. Nggak ada lagi yang mau?" ujar Juan sambil mengambil sisa potongan SilverQueen Chunky Bar yang tergeletak di atas meja. Cokelat itu diberikan oleh pengajar training saat materi Cash Management tadi pagi, karena meja kami terpilih sebagai salah satu kelompok dengan presentasi terbaik.

"Mauu, Ju," ujarku cepat.

Juan memotong bagiannya, kemudian memberikan sisanya padaku. "Nah," ujarnya sambil memberikan cokelat yang tinggal tersisa 2 bar.

Aku mengambil potongan cokelat itu dari Juan.

SilverQueen Chunky Bar adalah cokelat yang cukup kokoh, apalagi sejak tadi berada di ruangan kelas dengan AC yang cukup dingin. Ditambah lagi, ini adalah dua bar terakhir, membuatku kesulitan untuk mematahkannya menjadi dua bagian.

"Bisa Rena? Sini kupotekin," ujar Robby.

"Iya, susah nih. Hehe..." ujarku sambil menyodorkan sisa cokelat itu kepada Robby.

"Sini, sini," jawabnya seraya menerima potongan coklat dariku dan mencoba mematahkannya.

Lucu sekali melihat dahinya berkerut berusaha mematahkan cokelat.


"Naaah, akhirnya! Keras juga ternyata. Hahaha..." ujarnya kemudian, sambil menyodorkan dua potong cokelat kecil di tangan kanannya.

"Thank you. Gue satu aja, satu lagi lu aja," ujarku sambil mengambil satu potong cokelat.

"Asiiik... Thank you, Rena!" ujarnya sambil langsung melahap cokelat itu.

Hanya sepotong kecil SilverQueen Chunky Bar, harusnya aku pun sudah tahu rasanya. Namun entah kenapa yang kali ini terasa lebih nikmat untukku.


Menjalani hari denganmu kini menjadi lebih mudah tanpa perasaan itu

Duduk di sebelahmu tidak lagi menyiksa jantungku

Menatap matamu tidak lagi menyesakkan napasku

Mungkin memang lebih baik seperti ini


— Jakarta, 24 April 2019

R.


***


Halooow bestie! Apa kabar? Asli aku kangen banget!😭❤️ Maaf baru bisa update lagi, ya. Minggu-minggu kemarin Author lagi sibuk mencari sesuap nasi dan sebongkah berlian. Hehe.

Part ini lebih ke perkenalan teman-teman barunya Renata. Ke depannya akan ada lebih banyak part bersama mereka.

Ikutin terus kisahnya ya, Bestie. Sampai ketemu di part selanjutnya! 😊

Senandika RenataWhere stories live. Discover now