Bagian 9 : Akhir Perasaan

576 64 11
                                    

Untuk segala pengalaman pahit dan manisnya, kuucapkan terima kasih. Untuk segala kesalahan yang aku perbuat, kuucapkan beribu maaf, semoga kau tak bosan.

-Kisah ini

***

Kanina melangkahkan kaki di koridor dengan pelan. Hari mendung, dan koridor yang masih sepi membuatnya berjalan malas dan sangat pelan. Apalagi ditambah dengan pesan ucapan selamat tidur dari Rizki membuatnya bingung.

"Kenapa tiba-tiba dia begitu?" gumamnya pelan.

Ketika sampai di kelas, keadaan masih sepi. Ia bergegas mengambil sapu namun sebuah tangan menyentuh sapu tersebut membuatnya terkejut.

"Gue juga piket," ucap seseorang yang memegang sapu tersebut.

Kanina menoleh dan menemukan Rizki sedang tersenyum lebar.

"Oh, hehe," jawab Kanina bingung harus menjawab seperti apa.

"Lo sapu sebelah sana, gue sebelah sini ya," komado Rizki. Kanina mengangguk dan mengambil sapu yang lain.

Keadaan hening, mereka tidak hanya sibuk dengan pekerjaan masing-masing, namun juga bergelut dengan pemikiran mereka.

"Kanina," panggil Rizki memecah keheningan.

"Iya?"

"Aku gak nyangka kita bisa seasing ini."

Kanina tertawa payau. "Haha, apaan sih, Ki. Ngomongnya sok pakek aku kamu. Drama."

"Aku udah putus sama Wulan."

Pernyataan Rizki membuat Kanina mengentikan aktivitasnya sejenak karena terkejut. "Kenapa?"

"Karena kesepakatan sudah berakhir."

Kanina menoleh. "Maksud lo?"

"Aku terpaksa terima Wulan. Kamu inget waktu aku baca puisi dan aku salah kirim foto ke kamu? Aku sengaja."

"Ini maksudnya apaan sih, Ki?"

"Aku sama Wulan buat kesepakatan buat test perasaan. Buat yakinin perasaan Wulan bisa luluhin aku atau sebaliknya."

"Terus kenapa lo cerita ini ke gue? Apa hubungannya sama puisi dan salah kirim?" tanya Kanina semakin tidak mengerti. Namun di lubuk hatinya, ia memiliki perasaan aneh.

"Aku sengaja salah kirim foto buat lihat respon kamu, dan puisi itu aku buat, untuk kamu. Tentang kebodohanku yang nyakitin kamu, padahal aku tahu kamu suka sama aku, dan aku juga sama."

Kanina kini merasa sesak dalam hatinya. Semua kenyataan yang Rizki ucapkan memberi beban dalam hati dan pikirannya.

Ia mengembuskan napas dan berkata mengikuti gaya bicara Rizki yang memakai aku-kamu. "Jadi, kamu udah tahu perasaan aku tapi kamu masih mau test-test itu? Kamu kira perasaan aku ini apa sih, Ki? Kenapa di saat kamu tau aku suka sama kamu, kamu masih harus test perasaan lagi? Kenapa kamu malah milih nyakitin aku dahulu padahal kita punya perasaan yang sama?"

"Karena aku takut Wulan ngelakuin hal-hal yang nekat, dia ngancem aku mau bertindak nekat."

"Terus aku? Saat aku sakit hati apa kamu bisa jamin aku gak bisa bertindak nekat? Lalu kalian putus seperti ini, saat kalian udah jalanin hubungan dan ada pihak yang semakin nyaman, bukannya itu malah sakitnya lebih dalem? Bukannya itu malah bikin beban dan bikin tambah nekat?"

"Aku tau, kebodohanku saat memilih keputusan, saat itu aku juga gak bisa jamin perasaan kamu ke aku apakah akan berubah juga. Aku nyesel, Kanina. Seharusnya aku ucapin ke kamu kalau aku suka sama kamu. Sekarang kamu masih suka sama aku, Kanina?"

Kanina tersenyum. "Hanya karena aku pernah mencintaimu bukan berarti akan terus seperti itu. Kamu pernah pergi menjauh, dan ada yang mendekat untukku. Ketika aku nyaman, apakah itu salah?"

"Apa sedikit pun gak ada? Apa gak ada kesempatan kedua buat aku?"

"Kamu yang nyakitin aku duluan, Ki, dan kamu gak bisa menyalahkan orang yang mengisi posisi kamu."

Kanina menyegerakan untuk menyapu agar dapat pergi keluar.

"Sudahlah, Ki. Jalan kita emang sepertinya harus seperti ini. Kamu jalanin kehidupan kamu, aku jalani kehidupan aku," ucap Kanina kemudian berjalan keluar kelas, ia sudah menyelesaikan tugasnya.

Namun di pintu kelas ia berhenti. "Jujur itu emang nyakitin, Ki. Ini opini aku aja sih, saat kamu udah tahu perasaan aku, kenapa kamu nggak jujur dan mengatakan semuanya? Kita temenan kan, Ki? Kalau emang kamu ragu perasaan aku, takutnya kamu kePDan, kenapa kamu nggak akalin dengan curhat aja? Berlagak bingung dan tanya pendapatku. Setidaknya aku tahu apa yang terjadi."

"Maaf, Ki, kalau aku jatuhnya jadi egois gini. Maaf banget, pemikiran aku udah terlanjur kecewa sama kamu. Tahu kenapa?"

Rizki terdiam tidak menjawab.

"Aku kecewa. Dari sekian banyak alasan, yang masih belum bisa aku terima adalah caramu meninggalkan." Setelah mengucapkan itu, Kanina benar-benar berlalu.

Tinggallah Rizki di dalam kelas sendirian. Ia bergumam, "Saat kesepakatanku dengan Wulan berakhir, sialnya aku malah kehilanganmu. Kamu sudah terlalu jauh untukku, kita sudah terlanjur asing. Kita, bukan kita yang dulu lagi. Mungkin ini adalah konsekuensi ataupun timbal-balik yang aku terima. Tapi untuk sejelas-jelasnya. Aku, masih mencintaimu, dan akan tetap seperti itu."


Sedangkan di pinggiran lapangan basket, Kanina menengadah dan ingatannya kembali saat ia menuliskan sebuah puisi dulu. Ia tak menyangka puisi yang ia bacakan di depan kelas dulu, kini mewakili dirinya.

"Pada akhirnya: itu hanya akan menjadi hidupmu, aku tidak berhak atasnya, pun sedikit. Karena aku tidak ditakdirkan," gumamnya membaca puisi singkatnya itu. "Terima kasih, Ki, terima kasih, Panda Boy."

"Apakah aku bisa disebut Panda Boy juga, Tuan Putri?"

Kanina tersentak dan menemukan Febri duduk di sampingnya dengan tersenyum.

Kanina balas tersenyum dan bersandar ke bahu Febri. "Bisa. Panda Boy itu hanya sebutan, untuk seseorang yang bisa membuatku tertawa, dan bisa meluluhkan hatiku. Contohnya untuk saat ini ... kamu."

***

Tamat

--------------------

Wuhuuuuu, Panda Boy udah tamat ya. Aku ucapin terima kasih untuk semua pihak yang mau menunggu, mau membaca, mau mengapresiasi cerita ini. Kalian luar biasa.

Oiya, aku mau tanya dong tentang cerita ini. Syukur-syukur kalo ada yang mau jawab wkwk.

1. Bagaimana cerita ini menurut kalian?

2. Apa yang bikin kalian baca cerita ini?

3. Apa yang memorable buat kalian dari cerita ini?

Terima kasih buat kalian yang udah jawab.
Lufff,
Zahrotul An, 2020.

Panda Boy (✓) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang