Tiga; Arta

4.2K 611 119
                                    

2021

Kita pernah membicarakan tentang kematian, seolah semua bisa kita kendalikan, dan tak pernah sadar bahwa kehilangan jauh lebih menyakitkan.

***

2020

"Papa nggak mau kejadian waktu itu keulang. Ngerti kamu, Tera!"

Kalimat itu adalah perintah. Tera tau pasti risikonya membantah, jadi ia hanya tersenyum, membayangkan kerasnya tamparan yang ia terima malam itu.

"Iya," lirih gadis itu akhirnya.

Padahal malam itu Tera sudah ingin mengakhiri segalanya. Ia sudah membayangkan banyak hal. Tentang kematian, tentang bagaimana jika ia tidak dilahirkan samasekali. Menerka perasaan-perasaan asing yang muncul di dadanya dan mengusik pikirannya.

Apa di ketiadaan ia akan lebih bahagia?

Namun, cutter merah itu membuatnya sadar, bahwa mungkin ketiadaan lebih menakutkan dari dunia di mana ia berada.

Menghela napas, Tera menggenggam sendiri pergelangan tangannya yang memar. Menghapus bayangan kelam di kepalanya sambil melempar pandangan ke barisan pohon, lampu jalan, juga motor yang dilaluinya.

"Sekolah kamu gimana?"

Papa membuka suara, masih terlihat angkuh di kursi kemudinya. Di sisinya Mama tak acuh. Terlalu sibuk dengan lipstick dan kaca di tangannya.

"Gitu-gitu aja."

Sekolahnya baik-baik saja. Bangunan yang terus direnovasi. Dinding pucat yang tak pudar. Kaca lebar, juga standar nilai yang memuakkan. Sekolahnya belum berubah.

"Bagus, inget jangan bikin masalah, jangan bikin nama Gassani jelek cuma karena kelakuan kamu."

Senyum sinis gadis itu terbit seiring dengan beban di pundak yang tiba-tiba saja lebih berat.

Kalimat itu lagi.

Membosankan.

Memuakkan.

Padahal baru kemarin seseorang bilang padanya bahwa hidupnya berharga.

Saat itu, denting ponsel menyelamatkan Tera dari pikirannya.

***

Matahari mulai naik, suara keluh juga langkah-langkah bersahutan menggema di lapangan. Ada tawa yang tersamar oleh napas patah-patah di sana. Sedang satu orang masih sibuk berkelana dengan pikirannya, tak peduli pada kakinya yang mulai letih atau peluh yang sudah membasahi sekujur tubuh.

Catat, Tera benci olahraga dan kalau ia jadi presiden nanti, ia akan menghapus pelajaran ini selamanya!

"Lo mikirin apa?"

Tera tersentak saat mendapati seorang gadis dengan mata bulat tiba-tiba muncul di sisinya. Napas Tera yang tersengal membuatnya enggan bicara, jadi ia hanya menggelengkan kepala. Lagipula, tidak mungkin ia membagi isi kepalanya yang rumit. Tidak akan ada yang mengerti.

"Jangan-jangan lo kesambet setelah kena hukuman kemarin?"

"Emang ada setan di sekolahan?" tanya Tera, membalikkan kalimat Rea.

Forget MeWhere stories live. Discover now