Enam; Tidak Lagi Sama.

3.3K 532 106
                                    

2021

Tuhan menciptakanmu sekukuh rindu
Yang kamu tak tahu, aku saat itu meragu
Karena kamu serapuh debu
Sedang aku adalah angin yang mengusirmu

Dan saat itu aku tahu, bahwa kita tak akan bisa satu

***

2020

Hari ini, untuk pertama kalinya Tera mau duduk manis di sisi lapangan bola outdoor sekolah mereka, dengan satu plastik es teh yang saking panasnya ingin Tera pakai untuk mandi saja. Cewek itu sibuk menghitung burung di angkasa, sambil sesekali melirik ke arah Rea.

Regi berhasil membuat suasana hati Tera memburuk. Gadis itu bahkan malas membuka ponselnya karena Regi pasti mengirim banyak pesan di sana.

"Mau gue bantuin nggak, Re?" tanya Tera pada Rea yang masih pura-pura fokus.

Rea cepat-cepat menggeleng, tatapnya kini berpindah ke layar laptop. "Yang ada lo malah bikin tugas kita ancur. Anteng aja di situ."

Tera mengerucutkan bibir, kakinya berayun konstan. Ia menyipit dan mengamati club sepak bola sekolahnya yang sedang latihan di tengah lapangan. Tunggu, yang pakai handband itu ... kayaknya Tera kenal.

"Nomor delapan siapa?"

"Mana?" sahut Rea.

Tera menunjuk cowok dengan nomor punggung delapan itu dengan dagunya. Dan setelah menyipitkan mata, Rea membuka suara.

"Arta, kan?"

Oh ... itu Arta.

"Bukannya dia anak mading?"

"Dia anak beasiswa ... yang jelas kalau bisa dia pasti ikut semua ekskul biar nilainya di atas rata-rata."

"Ohhh."

Sahutan Tera lebir bersama angin. Lama ... hingga ia lupa berapa lama tatapnya terpaku di sana. Bertanya-tanya apa yang semalam ia lihat benar Arta, atau hanya halusinasinya saja?

Ngomong-ngomong, Tera suka pada bagaimana Arta berlari. Dia ... terlihat penuh ambisi dan juga hidup. Seolah di sana ada sesuatu yang mengejarnya, atau malah dikejarnya. Bukan sekadar bola, jika bisa, Tera ingin mengetahuinya.

Tera melirik Rea lagi, lalu senyum jahil kemudian muncul di wajah gadis itu.

"Ngomong-ngomong, nomor punggung sepuluh juga keren, ya?"

"Bangetlah, pakai nanya sega–" Rea seketika menatap Tera dengan mulut terbuka. Wajah gadis itu memerah dan Tera makin senang menggodanya.

"Ups. Keceplosan, ya?" Tera tertawa. Sedang Rea buru-buru menatap laptop, seolah tak terjadi apa-apa.

"Diem, ih. Aku nggak bisa konsen."

"Nggak usah malu, Re. Lagipula, ada yang lebih keren."

"Siapa?"

Tak berniat menjawabnya, Tera hanya tersenyum dengan tatap yang lekat pada Arta yang baru saja mengoper bola pada Rayan, si nomor punggung sepuluh alias Mas Crush Rea. Nama Artanta Kasyavani tertulis indah di atas nomor punggung cowok itu, yang kemudian Tera tulis diam-diam di kepala.

"Ra, tugasnya udah gue kirim ke surel lo. Lo tinggal cek lagi aja. Habis itu lo yang cetak, ya?"

"Okey." Tera menggumam ringan dengan sedotan di antara bibir. Matanya enggan beranjak dari lapangan, tapi Rea kembali membuat Tera melakukannya.

Forget MeWhere stories live. Discover now