10 | HEKSA ITU CUPU!

1.5K 105 6
                                    

Kejadian malam tadi lewat gitu aja. Semua berjalan kembali sebagaimana mestinya. Gue kembali pada rutinitas ‘seorang pengintil Della’. Tapi cuma kuat sampai tengah hari, sisanya gua nyerah dengan bilang gak enak badan, Della pun mengiyakan tanpa bertanya lebih jauh.  Sementara gue sendiri yakin ini bukan karena sakit, melainkan berhubungan sama bagian diri Arvind yang ada di perut gue.

Menjelang malam, gue berkunjung ke dapur Mbak Ning. Dia selalu nyambut gue dengan senyum ceria, yang entah gimana bisa ngingetin gue pada kasih sayang mama (dulu). Mbak Ning enggak mengizinkan gue untuk membantu, dia bilang, “Sayang tanganmu yang mulus itu dipakai potongin bawang, mendingan kamu duduk saja.”

Kalau gue taksir, umur Mbak Ning berkisar di kepala empat. Dia sudah bertahun-tahun lalu cerai dan belum niat bersuami lagi, setidaknya itu yang dia curhatin ke gue. Beruntung juga dia klop ke gue, jadi wilayah dapur boleh dikunjungi kapan pun gue mau.

“Mau kue gak? Kalau mau mbak ambilin.” tawarnya.

“Gak ah, gue mau yang asem-asem, Mbak.”

“Ada mangga muda, mau?”

“Mau!”

Mbak Ning ketawa sambil geleng-geleng, mungkin sadar tingkah gue yang semangat banget dengar mangga muda. Dia langsung ke kulkas dua pintu, ngambil semangkuk mangga yang udah diiris-iris.

“Tadinya mau Mbak bikin manisan, tapi keburu malas.”

Tanpa ba-bi-bu, gue langsung makan itu mangga yang masih berwarna hijau. Enggak ngotak memang. Mbak Ning juga cuma cengegesan lihatin gue.

“Kamu ini, kayak yang lagi ngidam saja.”

Uhuk! Gue tersedak dengan cara yang elegan. Menutupi salah tingkah pakai akting ketawa ngakak. “Mbak ini, hahahaha ada-ada aja deh.”

Mbak Ning ikut ketawa singkat. Untungnya dia enggak memperpanjang lagi dan melanjutkan aktivitas di atas wajan.

“Mbak, udah lama kerja di sini?” tanya gue sambil ngunyah.

“Sepuluh tahunan lah kurang lebih. Tapi kalau jadi juru masak utama belum begitu lama, tepat waktu Mas Heksa datang ke sini.”

Kunyahan gue terhenti. “Jadi, Mbak cukup tau asal-usul Gandewa dong?”

“Mbak gak tau-tau banget, cuma cukup aja buat ngenal Gandewa selama sepuluh tahun.”

“Itu, anak ceweknya Tuan Gandewa ada lima?”

Mbak Ning ngangguk. “Saya dengar tuan sama nyonya pengennya anak cowok, sampai lima kali hamil yang lahir cewek semua. Akhirnya yang ke-enam, lahirlah Mas Heksa. Makanya diberi nama Heksa, artinya enam.”

Gue menyimak dengan penuh perhatian. Semua orang di dapur sibuk kerja, jadi obrolan kami berdua terfokus cuma di sekitar kompor.

“Waktu mulai agak besar, Mas Heksa nolak ditetapkan sebagai pemimpin Gandewa selanjutnya. Tuan marah besar. Mbak ingat waktu itu Mas Heksa masih pakai seragam SMP dan dikurung di gudang belakang. Meski kasihan, gak ada seorang pun yang berani menolong. Sejak kejadian itu, Mbak gak lihat Mas Heksa lagi. Ada yang bilang dia pindah ke Jakarta, entah benar atau enggak. Terus tahu-tahu setahun lalu mungkin, dia ada di sini lagi, sudah besar.”

Seolah dikasih cerita mengesankan, gue ngangguk-ngangguk takzim. Menyingkronkan kejadian di sini dengan waktu yang udah gue lalui bareng Heksa. Jadi, Heksa memang lahir dan besar di sini, kemudian pindah ke Jakarta dan dianggap hilang sama orang-orang. Dan selama masa menghilang itulah, dapat dipastikan Heksa ketemu gue.

<<

“Huh, dasar cupu!”

“Hahahaha!!!”

REMBAS [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang