“Lepasin, Arvind! Gue gak mau!”
“Lo harus mau, sayang... ”
Gue merinding mendapat belaian di tengkuk. Sementara bulir-bulir keringat mulai berjatuhan, sesak dihimpit Arvind ke dinding. Panas dari hempusan napasnya pun makin menyiksa. Kepala gue pening seolah kurang oksigen.
“Pindah yuk,” ujarnya sambil menelusukkan tangan ke balik kaos gue.
Desahan kecil keluar tanpa bisa gue tahan. Sial!
“Ayo yang, ke kasur... ”
Gue terseret, gak bisa lepas. Cengkeraman Arvind terlalu kuat. Dia sama sekali gak ngasih celah untuk kabur. Dan entah kenapa, otak gue seakan bekerja sangat lambat. “Vind... ”
“Ya, sayang...?” responsnya, berhenti sesaat.
“Gue kebelet, pengen pipis. Pending dulu ya?”
“Gak bisa, gue juga kebelet...” ujarnya, masih aktif menggerayangi gue.
Jarak kasur makin dekat. Gue gak mau... tolong, gue gak rela... Gue harus bisa lepas.
“Sebentar aja, please...” diakhiri desahan, secara agresif gue menciumi lehernya, memberi tekanan.
Arvind tersengat, tubuhnya menegang. Dia pasti merasakan gelenyar aneh, menikmatinya, hingga kemudian cengkeramannya melemah. Gue menggunakan kesempatan itu untuk melepaskan diri. Tapi tubuh gue gak bisa diajak kerja sama. Baru akan mencapai pintu, gue ambruk karena kaki yang mendadak susah digerakkan.
Dalam sekejap Arvind kembali berada dihadapan. Dia tersenyum miring. “Udah gue bilang, lo harus mau.”
Kenapa gue tiba-tiba lemas gini? Gue gak sakit. Gue gak lagi mabok. Gue juga gak makan yang aneh-aneh. Oh... tapi gue minum lemon juice tadi, dari Arvind.
“Lo ngasih apa- di minuman- , hah?” Bagus, gue juga jadi susah bicara.
“Di minuman lo tadi?” Arvind ketawa. “Gue kasih date rape drug.”
Gue gak tau itu obat apa. Yang gue tau, sekarang gue mulai hilang kesadaran. Gue jadi linglung. Rasanya susah banget gerak dan gak bisa nolak begitu Arvind ngangkat tubuh gue. Jangan-jangan itu semacam obat tidur.
Sekeliling gue mulai terasa memudar.
Gue dijatuhkan di atas kasur yang empuk... Pakaian gue seperti dilepaskan... Dingin... Tapi kemudian ada kehangatan. Gue berusaha membuka mata, mendapati Arvind ada di atas gue. Kalung di lehernya menggantung, dengan bandul bergoyang-goyang di depan mata. Bentuknya yang runcing berhias ukiran huruf.
Gue pusing. Mata gue berat. Tapi gue memaksa diri agar tetap sadar sebentar lagi. Setelah beberapa saat, gue bisa membaca tulisannya.
A.A.Mahogra
.
Mahogra.
Gue membelalak, tapi hanya mendapati kegelapan. Udara di sekitar lembab alih-alih dingin atau panas. Begitu menyentak tubuh, rasa pegal menjalar di punggung. Gue menyentuh pipi, dingin. Berapa lama gue tidur di lantai? Jam berapa sekarang?
Segera gue meraba-raba, mencari permukaan pintu. Saat tekstur kayu itu didapatkan, gue menggedornya sekeras mungkin. “Ada orang diluar? Tolong buka pintunya sebentar!”
Pintu bergeming.
Gue tau sekarang, kapan dan dimana pernah membaca ‘Mahogra’. Yang barusan itu bukan mimpi, tapi kilas balik kejadian sial yang dilakukan Arvind. Bukan Rajata Mahogra seperti yang Nata sebutkan. Tapi Rajasa Mahogra- Arvind Adhirajasa Mahogra.
KAMU SEDANG MEMBACA
REMBAS [Tamat]
RomanceCover by @achielll ________________________________ (Spin off dari 'Halaman Terakhir') Catatan : Mengandung kekerasan dan kata-kata kasar. Apakah ada orang yang seneng di drop out dari sekolah? Ada, jawabannya adalah gue. Tapi di DO dengan keadaan...