56 | JAKARTA

859 77 61
                                    

Akhirnya setelah sekian purnama terlewati, gue bisa bebas beraktivitas lagi. Ya... sebenernya gak selebay itu, sih. Gue di rumah sakit sekitaran dua minggu, dilanjutkan sama pemulihan satu bulan setengah. Total dua bulan jadinya, gue baru bisa jalan-jalan tanpa perlu pengawasan Heksa.

Perlahan gue pulih. Gips di tangan gue sudah dilepas. Tapi pengistirahatannya masih butuh waktu sebulan lagi. Terus operasi abdomen (laparatomi) itu juga berhasil, gak ngasih komplikasi apapun. Luka sayatan di tangan kiri dan tulang selangka, juga sudah lama sembuh, meski bekasnya masih kentara. Tulang hidung gue yang katanya patah, bagusnya membaik sendiri saat masih di rawat. Dan luka tusuk di bahu, jahitannya sudah dibuka, sekarang tinggal nunggu sembuh total.

Kadang-kadang gue pengen ketawa kalau keingat tubuh yang sebegitu rusaknya. Gue gak nyangka masih bisa tetap hidup, bahkan sehat seperti semula. Padahal sebelumnya, kena pisau di dapur pun gue bisa bikin kacau seisi rumah. Ternyata benar, kemampuan manusia kadang melebihi apa yang pernah dibayangkannya.

"Yaelah pagi-pagi udah nongkrong di sini. Gak bisa banget jauh dari calon suaminya."

Nada jail kayak gitu, sudah pasti berasal dari Della. Gue melepaskan pandangan dari arah lapang, kemudian menoleh. Benar, dia ada di belakang.

"Itulah gunanya calon istri yang baik," sahut gue santai. "Lo sendiri gimana? Semalem bukannya ke asrama cowok, ya? Jadi siapa nih yang gak bisa jauh-jauh dari cowoknya?"

Della memerah. "Eh anjir, kok lo bisa tau?"

"Ya tau lah, Nyx gitu loh."

"Ah, bilang aja Heksa yang ngasih laporan."

Gue terkekeh-kekeh. "Iya, emang."

Dengan gak sopan, Della noyor kepala. Gue melotot. Dia malah cengar-cengir. "Mumpung masih boleh. Kalo udah jadi istrinya Heksa kan gak bisa."

"Della! Nyebelin banget sih, lo!" Gue ingin balas tapi Della keburu ngibrit. Sambil dadah-dadah dia lari ke lapangan. Gue cuma bisa mengacungkan jari tengah.

Dalam beberapa detik ke depan, lapangan sudah penuh sama anggota yang mau latihan fisik, baik cowok atau cewek. Gandewa selalu mempertahankan kebiasaan ontime-nya. Jadi gak perlu nunggu lama, mereka mulai pemanasan.

Perlu gue kasih tau, kalau suasana markas sudah kembali normal seperti sebelumnya. Justru malah kayak gak pernah terjadi apa-apa. Cuma kenangan yang melekat di benak, yang bikin teringat sama kekelaman malam itu.

Latihan fisik kembali dilakukan, terhitung sejak sebulan yang lalu. Tapi cuma pagi, sementara latihan sore dihapus. Setelah selesai latihan, kegiatan anggota jadi lebih fleksibel. Kalau gak ada tugas atau misi, kita bebas mau kemanapun atau melakukan apapun. Asal pas dibutuhkan, bisa langsung balik ke markas.

Agra diterima lagi di Gandewa. Karena menyerahkan diri, dia dapat pengampunan. Dia bebas dari hukuman penyiksaan, tapi gak akan bisa menjabat anggota inti untuk selamanya. Penerimaan Agra pun atas usul Heksa, yang bilang kalau Agra cukup menguntungkan buat ngorek informasi Gahara. Dengan begitu, kita bisa membersihkan sisa-sisa Gahara yang mungkin aja bikin bahaya.

Gue duduk di selasar, bersila. Heksa belum mengizinkan gue ikut latihan, jadi cuma boleh nonton aja. Pandangan gue bebas memilih, bisa ke lapang cewek atau cowok. Kemana gue lebih banyak melihat? Gue rasa, kalian tau sendiri jawabannya.

Ketika matahari semakin meninggi dan panasnya menyengat, latihan selesai. Dari sekian banyak cowok yang membubarkan diri dari lapang, ada satu yang langsung menuju gue. Heksa. Datang dengan senyum tipis dan keringat di dahinya.

"Capek gak?"

Dia duduk berselonjor. "Kalau saya bilang enggak capek, itu bohong."

Sembari terkikik, gue menyerahkan botol minumnya. "Minum dulu."

REMBAS [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang