“Heksa,” Gue mencicit.
Melalui genggaman tangan Heksa, gue bisa merasakan emosinya. Tubuh yang tegang, denyut nadi yang cepat, dan pegangan posesif. Mukanya masih sekeras tadi, bikin gue agak sungkan.
“Sa, lo boleh bentak gue buat marah. Jangan nyiksa diri lo sendiri,”
Heksa nahan marahnya, gue tau itu. Soal Agra pun belum habis dan sekarang ditambah ini. Pasti gak mudah mengontrol emosi yang meledak-ledak di dirinya. Tapi Heksa diam, masih menatap lurus kedepan.
Akhirnya gue menyerah, memilih menunduk memandang jalan. Kami melewati ruang rapat, pintunya tertutup tanda gak ada orang. Dari situ mengambil arah ke kanan, menyusuri sisa selasar.
“Tidak ada gunanya saya marah,” kata Heksa sekonyong-konyong.
Butuh beberapa saat buat sadar Heksa menyahuti omongan gue tadi. Responsnya terlampau lambat. Bahkan gue kira dia memang sengaja gak mau ngomong. “Tapi ngeluapin kesal bisa bikin lega, Sa. Gue siap nerima bentakan lo, serius.”
“Kalau saya bentak kamu, saya justru akan marah pada diri sendiri,” timpalnya.
Untuk ukuran orang yang syok dan jadi linglung, gue gak bisa cepat nangkap maksud Heksa. Perlu sedikit berpikir, hingga akhirnya menyimpulkan ucapan dia itu romantis. Meski kemudian, perhatian gue jadi terfokus ke gerbang markas. Yang biasanya cuma ada penjaga gerbang, sekarang ditambah Della dan Cellin.
“Sa, ada apa?” tanya gue tolol. Itu pertanyaan yang sia-sia. Heksa diam saja, jelas gak tau karena dia pun baru datang.
Pegangan kami lepas. Gue langsung tancap gas menuju tempat mereka berkumpul. Sedangkan Heksa mengikuti di belakang.
“Della, Cellin, ada apa?”
Kedua cewek yang gue panggil namanya itu menoleh. Di tangan mereka, sama-sama ada kertas HVS putih yang ditulisi spidol merah. Dan di bawah, dekat kakinya, ada batu seukuran kepalan tangan serta kawat.
“Ada yang lempar ini,” kata Della sambil menyerahkan.
Gue segera menerimanya. Kemudian dengan tergesa merentangkan kertas yang kusut itu. Tulisan kapitalnya yang berwarna merah seolah membakar kedua mata gue.
GAHARA AKAN MENYERANG
DALAM WAKTU DEKAT
KALIAN SIAP?“Ada yang lihat pelakunya?” Della bertanya ke salah satu penjaga gerbang, sementara gue masih menunduk memandang kertas.
“Gak liat, Del. Gak ada tanda-tanda orang datang. Tiba-tiba aja ada dua batu masuk ke sini,”
“Saya lihat yang itu,” pinta Heksa, agak mengagetkan.
Gue dan Heksa bertukar kertas. Sama saja, tulisan kedua pun bikin mata silau. Meski hanya sebaris, justru kalimat ini yang lebih bikin merinding.
ANGGOTA KALIAN TERLALU SEDIKIT!
Orang yang menuliskannya seolah tau seberapa banyak anggota Gandewa. Lalu dia membandingkan dengan Gahara dan menyimpulkan Gandewa kalah jumlah. Kesannya, mereka seperti sudah mengetahui keadaan kita disini, bahkan sampai ke anggotanya sekalipun.
“Mereka hanya menakut-nakuti,” komentar Heksa.
Gue menyerahkan kertasnya kembali. “Keliatannya, mereka tau banyak soal kita.”
“Mereka hanya ingin memecahkan fokus kita. Jangan sampai terpancing.” Heksa meremas kertas-kertas itu, lantas melemparnya ke sembarang arah.
“Wajar kalo mereka tau banyak soal kita, kan ada Agra,” timpal Cellin, menyeringai.
KAMU SEDANG MEMBACA
REMBAS [Tamat]
RomanceCover by @achielll ________________________________ (Spin off dari 'Halaman Terakhir') Catatan : Mengandung kekerasan dan kata-kata kasar. Apakah ada orang yang seneng di drop out dari sekolah? Ada, jawabannya adalah gue. Tapi di DO dengan keadaan...