|BAB 3| Jangan Merasa Kehilangan

1.3K 143 44
                                    

Jadikan kehilangan itu sebagai pelajaran, jangan jadikan halangan untuk kamu menuju kebahagiaan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Jadikan kehilangan itu sebagai pelajaran, jangan jadikan halangan untuk kamu menuju kebahagiaan.
You should know, You deserve to be happy.

Kehilangan adalah salah satu perasaan yang sulit untuk diungkapkan, hanya bisa dirasakan. Dalam diri, seseorang akan merasakan perasaan sedih yang sulit untuk diungkapkan dengan siapapun. Kehilangan orang yang paling berharga bukanlah sesuatu yang mudah untuk dilupakan. Seperti permen karet, dibuang setelah habis, tak terurai dengan waktu yang cepat. Bisa menempel dalam dinding ingatan. Ingatan itu seperti sebuah kaset. Sendu akan terkenang, bahagia akan lupa dalam sajaknya waktu.

Sulit bagi Anita untuk melupakan sosok wanita yang telah melahirkannya. Empat belas tahun tanpa kabar, nyatanya ia tak bisa melupakan semua kenangan yang ada. Walau hanya sebentar, kenangan itu akan terus terasa dalam dinding ingatan yang kokoh. Walau sudah berusaha untuk tegar, ketika menatap gelapnya sang malam, ia sering meneteskan air mata kerinduan.

"Ibu, Anita rindu." Anita menatap langit yang terdapat banyak bintang bertebaran.

Cahaya bintang seakan menghibur dirinya yang terluka dan sedih. Cahaya yang begitu indah, membuat ia melupakan kesedihan sejenak. Malam ini langit sangat indah. Gelap, namun terang karena terbitnya bintang. Dibawah pohon mangga, ia duduk di kursi yang terbuat dari bambu. Matanya terus saja terarah pada sang bintang yang terlihat indah.

"Coba Anita bisa terbang, pasti Anita bakal langsung temukan ibu," ujar Anita membuat seseorang dari arah belakang tertawa.

Anita pun menoleh, ketika Suherman berjalan kearahnya. "Kenapa, toh, Pak?"

Suherman pun menaruh secangkir kopi di kursi bambu. Ia duduk mendekati anaknya yang terlihat sedih. Cuaca malam ini sangat dingin. Udara di desa ini masih sangat asri untuk dijangkau oleh polusi. "Lucu, eh. Ini sudah malam, kenapa kamu gak tidur?" Suherman mengelus rambut anaknya yang terlihat panjang.

"Anita gak iso turu, Pak. Anita kepikiran ibu," balas Anita sembari menoleh pada sang bapak.

Suherman pun terdiam. Memang susah untuk melupakan orang yang kita sayang. Jujur, ia sering kali memikirkan keadaan wanita yang masih menjadi istri sahnya. Satu pertanyaan selalu timbul. Apa Zola masih setia padanya? Atau justru sudah memiliki keluarga? Ketika ia mengetahui Anita ingin pergi menemui istrinya, ia sangat takut. Takut pada kenyataan yang telah berubah jauh dari takdir awal.

"Jangan terlalu dipikirkan. Ibu pasti baik-baik, saja. Kamu hanya perlu persiapkan diri, bapak akan jual padi buat kamu berangkat ke Jakarta." Suherman memberikan senyum semangat pada sang anak.

Anita pun menoleh dengan perasaan yang luar biasa senang. "Seng bener, pak? Alhamdulillah." Raut wajah Anita kemudian kembali muram. Sawahnya belum memasuki masa panen. Padi yang ada di lumbung hanya dua kandi saja. "Pak, gak usah. Insyaallah, tabungan Anita sudah cukup."

"Tidak apa-apa, kalau untuk anak, bapak sangat ikhlas. Seng penting, kamu jaga kesehatan dan ingat pesan bapak, belajar seng bener, cari ibumu dan kembalikan ke desa." Suherman memberikan petuah pada anaknya.

Kebahagiaan anak adalah tanggung jawab dirinya sebagai kepala keluarga, dan seorang ayah. Ia hanya bisa membahagiakan anaknya dengan kesederhanaan yang ada, bukan kemewahan yang sementara. Akan ia lakukan apapun, agar ia bisa membahagiakan anaknya.

"Baik, pak. Anita gak bakal sia-siakan usaha bapak. Anita bakal sering hubungi bapak kalau sudah ketemu ibu di kota nanti. Anita juga bakal cari kerja, dan melanjutkan kuliah. Anita bakal usaha untuk mengharumkan nama bapak," ucap Anita dengan mata yang berkaca-kaca.

Suherman yang melihat anaknya sedih pun berusaha untuk tersenyum. "Alhamdulillah. Jangan sedih, harus bahagia, dong. Yuk, kita kedalam." Suherman merangkul bahu sang anak untuk masuk kedalam rumah. Udara malam ini sangat dingin untuk dirasakan.

Anita masuk kedalam kamar yang ukurannya hanya bisa untuk ia masuki saja. Dengan kasur yang sudah jebol, ia tetap bersyukur, karena masih bisa hidup bahagia dengan keluarga yang cukup sederhana. Kebahagiaan itu bukan tentang kemewahan, tapi hanya kesederhanaan juga bisa membuat kita bahagia.

Langkahnya membawa ia ke lemari kayu yang usianya sudah cukup tua. Ia membuka lemari itu, dan mengeluarkan celengan tanah berukuran besar. Ia menggoyangkan isinya untuk mengetahui apa sudah penuh atau belum.

"Lah, wes penuh," tutur Anita dengan sangat senang.

Celengan itu usianya sudah sangat lama. Ia menabung dari hasil kerja kerasnya bersama sang bapak menjual singkong. Ia pun menatap celengan itu dengan pasangan nanar. Sedih rasanya ketika ia harus memecahkan celengan yang penuh akan sejarah itu.

"Maaf, aku harus memecahkan kamu. Anita mau ketemu ibu." Anita mengangkat celengan itu tinggi dan membanting di semen rumahnya.

Celengan yang awalnya utuh, menjadi pecahan kecil yang sangat banyak. Lembaran uang sudah dapat ia lihat. Anita pun segera mengumpulkan uang receh itu dengan sangat hati-hati. Setelah terkumpul, ia pun menaruh uang itu diatas kasur. Tangannya merapikan pecahan celengan yang kecil-kecil.

"Wah, Alhamdulillah. Bisa buat ke Jakarta ini," ucap Anita sembari menatap uang yang lebih dari satu juta itu.

Anita pun menghempaskan tubuhnya diatas kasur yang sudah lama. Ia menatap langit-langit kamar sembari menggegam uang recehan itu. Sudut bibirnya terangkat, ketika ia menoleh kearah foto milik ibunya. Ia menaruh uang dan mengambil foto ibunya yang terlihat masih sangat muda itu.

Tangannya bergerak untuk menyentuh foto dengan bingkai kaca itu. Tetesan air mata mulai mengalir ketika ia merindukan dekapan hangat milik ibunya. Selalu saja begitu, ketika ia merindukan sosoknya untuk hadir dalam hidupnya. Bayangkan saja, anak mana yang tidak rindu jika ibunya meninggalkan dirinya sendiri dalam rasa rindu juga kesunyian anak tak mendapatkan kasih sayang seorang ibu.

"Bu, kenapa ibu gak pulang? Kalau ibu sudah sukses disana, kenapa ibu gak bawa Anita dan bapak aja ke Jakarta?" Anita kemudian menghapus air matanya secara kasar. Tangannya yang bergetar, mengelus lembut foto lama milik Zola. "Apa ibu sudah lupa? Anita, kan, anak ibu. Anita mau memeluk ibu. Ibu masih sayang sama Anita dan bapak, kan?" Anita meneteskan kembali air matanya.

Jika kehidupan ibunya sudah menjadi aktris terkenal, kenapa ibunya tidak menjemputnya? Bahkan untuk menelpon dirinya pun tak pernah. Jika jarang pun, ia sangat bahagia karena bisa mengetahui kabarnya. Lantas, bagaimana jika tak ada satu pesan pun yang dikirimkan kepadanya? Rindunya sebagai seorang anak ini tak pernah ternilai oleh apapun.

"Ibu, jangan buat Anita berpikiran yang macam-macam. Bawa Anita dan bapak. Anita rindu sama ibu. Anita gak mau dalam keadaan yang seperti ini Bu, dewasa tanpa seorang wanita yang sangat berharga," ucap Anita dengan isakan yang lolos.

Dewasa tanpa seorang ibu itu sangat berat. Dulu ia sempat mendapatkan ejekan dari temannya, karena ia tak pernah datang bersama ibunya jika ke sekolah. Banyak yang bilang, jika ibunya tak lagi mengingatnya. Ia tak peduli pada ejekan para teman-teman dan tetangga. Yang terpenting adalah sebuah mimpi yang sebentar lagi menjadi nyata.

#TBC

Give me VOTMENT PLEASE 💜

Jangan lupa untuk komen yang banyak ya. Aku tunggu kalian komen loh.

Hayuk, komen.

Yuk. Jangan lupa juga untuk follow akun wattpad author ya.

Setinggi Mimpi (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang