11 Februari 2018

124 17 2
                                    

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


Hai, sebenernya aku bingung harus mulai dari mana, karena ini untuk pertama kalinya aku berusaha produktif dalam waktu-waktu keseharianku, sekarang tanggal 11 Februari tahun 2018, di hari minggu, jam sembilan pagi, tetangga sekitaran rumahku hari ini nampak damai, tidak seperti hari-hari lain, biasanya selalu saja ada anak kecil yang merengek minta uang jajan ke orang tuanya, atau biasanya juga bu May , tetangga samping rumahku yang paling berisik, hampir setiap hari dia marahi anaknya karena sibuk mencari kaos kaki yang hilang sebelah setiap mau berangkat sekolah.

Dapur rumahku masih berisik oleh suara gesekan perabotan dapur, aroma masakan tumis dan ikan goreng yang dibumbui dengan sambal pedas khas Lampung sedang berkeliaran di sekeliling indera penciumanku, agak pedas di hidung, tapi sepertinya enak, kak Karin memang koki handal pengganti ibu, walau kadang sering lupa masukin garem. Aku baru selesai mandi, agak kesiangan, karena tadi malam sedang sibuk melengkapi program aplikasi dalam laptopku ini. Sebenarnya aku gak pandai menulis, hanya sekedar membuktikan perkataan Bu Rima, guru Bahasa Indonesiaku, minggu lalu kami ditugaskan membuat puisi yang bertema malam hari. Gak ada yang benar-benar istimewa dari "malam hari" sih, tapi kata Bu Rima bumi memiliki sisi keistimewaanya sendiri cuman manusianya aja yang terkadang lupa untuk melihat sisi istimewa itu. Kata Bu Rima puisiku sangat berbeda dari siswa yang lainnya, diksinya sederhana, tidak bergerak namun bisa menyentuh setiap jiwa dan hati yang membacanya, entahlah pujian dia benar atau tidak, yang penting nilaiku minggu ini lebih baik dari tugas sebelumnya ketika disuruh membuat sebuah pantun jenaka, yang justru menjadi pantun sedih. Aku sendiri tidak tau apa itu diksi, sebelum akhirnya aku cari di internet.

Begini puisinya, barangkali kalian penasaran, juga agar kalian bisa menilai sendiri apakah pujian Bu Rima benar atau enggak.

Harusnya aku sedang merebahkan diriku saat ini, di atas kasur pemberian ibu yang sangat halus seperti gembala angin yang menyapu barisan pohon kelapa ... dengan secangkir teh hangat dan sorakan jangkrik-jangkrik yang melantunkan irama-irama kehengingan di malam hari.

Jalanan sudah nampak sepi, asap kendaraan pun mungkin sudah menyatu dengan udara dingin malam ini, hanya lampu jalan dan suara samar dari dedaunan pohon yang tertiup angin malam.

Langit tidak begitu gelap, bulan dengan sempurna memamerkan cahayanya, beserta tarian bintang yang mengelilinginya, kemerlipnya seolah menghasutku untuk terus duduk di kursi halte ini sembari memandanginya.

Malam benar-benar selalu punya cara untuk membuatku senang, membuatku lupa akan segala hal buruk yang terjadi hari ini, membuatku seolah ingin terus ada di bumi dan menyaksikan segala hal yang membuatku senang karenanya.

Kata Bu Rima, tanganku yang kurus ini memiliki kelihaian dalam menulis, ada bakat yang terpendam dalam diriku, begitu katanya, aku sih pinginnya tetep dipendam aja. Tapi kata Bu Rima jangan, katanya nanti bakat itu gak bisa napas karena kelamaan dipendam.

"Sayang kalau kamu pendem gitu aja, kamu itu punya kemampuan dalam mengolah kata, makanya setiap ada tugas yang berhubungan dengan permainan kata kamu selalu yang tertinggi nilainya" kata Bu Rima.

"Iya Bu, saya juga sayang kalau dikeluarin, nanti dicuri orang, bakat saya mah masih kecil bu, belum bisa jaga diri, makan aja masih disuapin" gurauku.

"Healah, piye toh, Ibu serius loh, nih ya, kalau kamu berani ngeluarin bakat kamu dalam literasi kamu pasti bisa mengejar cita-cita kamu, katanya kan kamu pengen jadi jurnalis."

"Iya Bu, kayak Mba Nana (Najwa Shihab) biar nanti aku yang gantiin dia jadi Mata Fahri."

Bu Rima ketawa.

Bu Rima baik, cantik pula, dan masih jomblo alias single, tapi denger-denger sih dia udah mau taaruf sama temen kuliahnya dulu, kayaknya hari pernikahannya nanti bakal jadi hari patah hati satu sekolahan deh ... mungkin Wisnu juga bakal sangat sedih, dia teman sekelasku, orangnya nakal dan agak ngeselin, bukan agak sih, lebih tepatnya memang ngeselin, dia sering ngambil bekal anak-anak cewek di kelasku sering juga nyumputin sepatu anak-anak lain. Belum lama ini dia pernah merayu Bu Rima melalui DM Instagram, dia screenshoot percakapan dia di DM dan mengirimnya ke grup WhatsApp kelas, tertawa dan iri kami dibuatnya, aku masih menyimpan percakapan dia dengan Bu Rima, begini isinya;

"Assalamualaikum"

"Selamat malam, Ibu, saya Wisnu dari kelas 11 IPA 2"

"Saya baru saja keluar dan melihat langit yang gelap, gak gelap banget sih, soalnya ada bulan beserta wajah Ibu di dalamnya, terpesona saya dibuatnya, saya jadi tambah sayang sama bulan"

"Bu, bapak Ibu tukang tambal ban ya?"

"Soalnya ibu sudah berhasil menambal hatiku yang bocor karena masa lalu, uhuuyyy ...."

"Kok cuma diread Bu, balas dong bu, biar saya gak merasa terkacangi."

"Waalaikumsallam ... Astaghfirulullah Nak, sudah malam ini"

"Tidur, tidur, mau ibu laporkan ke sekolah?"

"Alhamdulillah dibales"

"Jangan bu, jangan dilaporin"

"Yasudah tidur"

"Siap Ibuuu ..."

"Satu lagi"

"Bapak ibu sudah meninggal 2 tahun yang lalu dan bukan tukang tambal ban."

Begitulah isi percakapannya, percakapannya banyak dibagikan sama teman-teman yang lain dan viral satu sekolahan, endingnya, satu hari kemudian pihak sekolah tau dan Wisnu dipanggil ke ruang BP.

Kita Hanya Perlu MengertiWhere stories live. Discover now