Manipulasi Keadaan

12 2 0
                                    

CERITA INI UDAH DIREVISI TAPI NAMA TOKOH MASIH SAMA, SUDUT PANDANG DAN CERITA DI DALAMNYA SUDAH DIUBAH, BACA DARI ATAS LAGI YAA, DIJAMIN LEBIH SERU!

Kami pikir situasi sudah membaik karena apa yang ibu katakan berhasil membuat kami menjadi baik-baik saja, tapi lagi-lagi kejadian seperti malam hari itu terjadi lagi, di malam berikutnya, Bapak mengeluarkan kalimat yang seumur hidup tidak ingin Ibu dan kami dengar, Bapak memilih bercerai dari Ibu karena sudah tidak kuat lagi, aku tidak begitu ingat apa yang Bapak katakan pada saat itu, bapak bicara dengan nada yang rendah dan suara yang pelan, namum membuat Ibu menangis dan memohon-mohon kepada Bapak untuk menarik kata-katanya. Tapi Bapak tidak semudah itu, apa yang sudah Bapak katakan adalah apa yang sudah dia pikirkan bulat dan matang-matang. Di malam itu, yang aku ingat, Ibu lalu masuk kamar sambil menangis, dia lalu keluar lagi dengan membawa sebuah tas yang aku tidak tau apa isinya, dia memalingkan wajah ke kami bertiga, seolah tidak mau menatap kami lagi, dia pergi meninggalkan rumah, saat itu perasaan kami campur aduk, cemas, bingung, sedih, dan lelah. Bapak menghampiri kami yang sedang duduk terdiam di ruang keluarga, ruang di mana kami sering tertawa bersama-sama. Mulanya kami sempat takut pada Bapak, Kak Lia sempat berpindah posisi ke depan kami, solah menjadi perisai. Tapi dengan nada lembut Bapak justru duduk di dekat kami dan mengelus rambut panjang Kak Lia dan berkata, "Gak udah takut, Bapak gak marah kok, Bapak cuman mau ngobrol sama kalian."

"Kak Lia, katanya mau ikut lomba pidato di sekolah kan? Jadi gak?" tanya Bapak.

"Jadi Pak" jawab Kak Lia pelan.

Bapak senyum. "Dulu Bapak juga sering ikut lomba, lomba kelereng, bukan sekolah yang mengadakannya, tapi anak-anak kampung, hadiahnya kaos kaki, dulu Bapak terkenal sebagai pemimpin kawan-kawan bapak, mereka itu gak mau main kalau Bapak gak ikut main karena harus bantuin kakek di sawah ... Bapak menang main kelereng, dan dapet deh hadiah kaos kaki itu, tapi pas Bapak coba, kaos kakinya kebesaran, alhasil Bapak kasih ke kakek, kakek suka sama kaos kakinya, walaupun sebenarnya Bapak tau saat itu, kakek bingung, mau dipakai kemana kaos kaki itu, dia cuma petani, gak butuh kaos kaki, tapi dia tetap mengeluarkan wajah senang dan bangga karena anaknya jago main kelereng, selain kelereng, Bapak juga dulu terkenal jago juga main layangan, Bapak pilot yang handal dulu,"

"Layangan? Fahri mau dong main layangan" ucapku semangat.

"Fahri suka? Oke, hari minggu nanti kita main, Bapak buatkan layangan yang bagus."

"Emang Bapak bisa buatnya?"

"Bisa dong, Bapak itu serba bisa, waktu itu Bapak pernah menemani nenek kalian nyari kayu bakar, banyak kayu bakar yang kami berdua dapet, sampai tali yang kami bawa dari rumah gak cukup untuk mengikat semua kayu bakar itu, tapi Bapak gak kehilangan akal, Bapak bantu nenek mencari cara biar kayu bakar itu bisa dibawa sekaligus ... bapak pun mendapat ide, bapak ambil pelepah daun pisang yang sudah kering, dan Bapak jadikan pelepah kering itu menjadi seperti sebuah tali, dan berhasil, nenek bilang Bapak pinter, 'cah bagus' begitu katanya, Bapak bantu nenek mengangkat kayu bakar itu."

"Kayu bakar buat apa Pak? Bapak mau kemping ya?" tanya Kak Karin.

"Bukan dek, itu buat masak di tungku, iya kan, Pak?" saut Kak Lia.

"Iya, betul, dulu itu orang-orang di kampung Bapak masih masak menggunakan tungku dan kayu bakar, dulu masih jarang kompor, kalau masak pakai kayu, masakan akan lebih enak, tapi sayangnya dinding disekitar tungku bakal jadi hitam semua kena asap dari api pembakaran, dan susahnya lagi, kalau api di kayu mati, nenek kalian akan mengeluarkan kekuatan supernya, dia keluarin senjatanya, sebuah potongan bambu, digunakan untuk meniup kayu bakar itu, biar apinya hidup lagi."

"Nenek gak sesak napas?"

"Enggak dong, orang dulu-dulu itu kuat-kuat ... nah kira-kira dari cerita itu pelajaran apa yang bisa diambil?" ucap Bapak.

"Bantuin nenek cari kayu" jawabku. Bapak ketawa. Wajar, aku masih kecil sat itu, belum terlalu bisa mengambil pembelajaran.

"Mulai dari Kak Karin deh, kira-kira pelajaran apa yang bisa diambil?"

"Bersyukur karena udah bisa masak pakai kompor."

"Oke bersyukur, boleh, pinter anak Bapak" jawab Bapak sambil ketawa kecil.

"Kak Lia, apalagi pelajaran yang bisa diambil?"

"Hmmm ... Bantuin orang tua?"

"Iya, bener, pinter semua anak bapak sekarang, nih Bapak jelasin, jadi, apapun dan bagaimanapun kalian, kalian adalah anak-anak yang harus setia dan hormat kepada Bapak dan ibu, Bapak gak bisa menjamin kalian semua akan sukses di masa depan nanti, tapi Bapak akan berusaha membuat hal itu terwujud, kalian harus membantu Bapak sama Ibu sampai akhir hayat kalian, bahkan ketika nantinya Bapak dan Ibu sudah gak ada di dunia, kalian harus tetap mendoakan Bapak dan ibu ya, bantu Bapak dan ibu sebisa kalian, tetap sayangi, tetap hormati dan tetap ingat semua yang Bapak dan ibu katakan."

"Ibu kemana, Pak?" tanya Kak Lia.

"Malam ini ibu tidur di rumah tante Rita, karena tante Rita lagi sakit jadi ibu harus jaga tante Rita."

"Beneran, Bapak sama ibu mau pisah?" Bapak sempat terdia sejenak.

"Bapak sama ibu tidak benar-benar berpisah, kalian masih bisa kok ketemu sama ibu kapanpun kalian mau, cuma kemungkinan ibu enggak tinggal di sini lagi, ibu bakal tinggal sama tante Rita."

"Kenapa Pak?" tanyaku dengan nada hampir menangis.

"Bapak sama ibu mau cari uang sendiri-sendiri, ibu mau menyelesaikan masalahnya dan bapak juga mau menyelesaikan masalah bapak, kalian jangan sedih, ini semua sudah bapak pikirkan baik-baik, kalian tetep bisa kok semau hati kalian ketemu sama ibu, ini semua demi kebaikan kalian, kalian gak mau kan liat Bapak sama ibu berantem lagi."

Kami sempat terdiam, lalu emnggelengkan kepala.

Sempat tidak kusangka malam itu akan menjadi malam terakhir ibu di rumah dengan jutaan cerita itu.

Keesokan harinya ketika aku bangun tidur, aku lihat sudah gak ada lagi barang-barang ibu, pajangan foto pernikahan bapak dengan ibu sudah tidak ada lagi di dinding, dan aku lihat Mas Lukman sedang terbaring di kursi ruang tamu.

"Mas Lukman, Mas ..." sautku membangunkan Mas Lukman.

Mas Lukman pun bangun. "Mmmm, ehhh, Fahri, udah bangun dek, ngompol gak kamu semalem?" ucap Mas Lukman sembari meregangkan badan.

"Enggak, Fahri udah gak ngompol lagi" jawabku sambil menggelengkan kepala.

"Wuihhh, pinterr, udah gede adek Mas."

"Bapak mana?"

"Tadi bapak bilang, bapak mau pergi, bentar kok, Fahri, sini bentar deh, duduk di pangkuan Mas sini." Aku pun lalu duduk di atas pangkuan Mas Lukman yang masih kusut karena bangun tidur dan menyender di dadanya.

"Fahri, kalau gak tinggal sama Ibu gak apa-apa kan ya?" tanya Mas Lukman.

"Fahri mau sama ibu"

"Iya, nanti Fahri boleh ketemu sama ibu, kapan aja Fahri mau ketemu, tapi sekarang ini ibu lagi kerja sama tante Rita, sibuk banget jadi gak bisa pulang ke rumah, Fahri gak apa-apa kan tinggal sama Bapak, kak Lia dan kak Karin?"

"Tapi ibu bakal ke sini lagi kan Mas?"

"Iya dong, ibu kan sayang banget sama kalian, ya, gak apa-apa kan ya?"

Aku pun menganggukan kepala, lalu turun dari pangkuan Mas Lukman.

"Mas mandi dulu sana, bau tau" ujarku.

"Healah, kamu ini" jawab Mas Lukman sambil tertawa.

Kita Hanya Perlu MengertiWhere stories live. Discover now