17 Februari 2018

4 1 0
                                    

Lima hari terlewati begitu saja sejak terakhir kali tulisan ini dibuat, harusnya aku lanjut tulisan ini sejak dua atau tiga hari yang lalu, tapi selalu aja ada alasan yang tercipta seketika saat aku berniat melanjutkan tulisan ini, mulai dari chat WhatsApp, notifikasi dari Instagram, video baru dari channel favorit, dan banyak lagi halangan yang membuat rasa malas untuk menulis tercipta. Sekian hari diniatkan, baru terlaksana hari ini, aku teringat kata-kata ibu untuk melawan musuh dalam diri kita sendiri, mungkin salah satu musuhnya adalah rasa malas yang hampir setiap saat menggrayangi, beruntung hari ini aku berhasil melawannya, gak tau kalau besok.

Jam 20.08 malam WIB, aku baru selesai sholat isya, setelah sebelumnya aku mandi, untuk yang sekian kalinya aku mandi malam hari, aku tau ini tidak baik, bisa kena rematik kalau sering mandi malam hari, begitu kata bu may tetanggaku. Kak Karin lagi senyum-senyum sendirian di teras depan rumah, nungguin Kak Lia pulang kerja katanya, sedangkan bapak baru saja pulang dari toko, membawa plastik putih yang kukira berisi martabak.

"Kak," sapaku.

"Hmmm?"

"Bapak belum pulang?"

"Belum, bentar lagi mungkin ... mungkin."

"Kak Lia belum pulang juga? Atau nginep di kantor lagi?"

"Belum, ini lagi Kakak tungguin, bentar lagi mungkin."

"Tumben nungguin dia, mau minjem alat make up nya lagi yaaa?"

"Ihhhh ... Jutru kebalikannya, tadi pagi dia minjem sepatu gue, itu sepatu mau gue pake keluar malam ini"

"Memangnya dia udah pasti pulang malam ini? Biasanya kan nginep di kantor dia."

"Pulang dong ... mungkin ...."

"Mungkin terus ...."

"Iyalah, gak ada yang benar-benar pasti di dunia ini, Lo masih napas besok atau enggak aja belum pasti."

"Astaghfirullah, punya Kakak mulutnya gak berakhlak banget!" jawabku kesal.

Kak Karin ketawa, ketawa jahat.

Tidak lama kemudian terlihat mobil bapak, Bapak keluar dari mobil dengan wajah yang lelah, mungkin sedang banyak pelanggan tadi.

"Nah itu Bapak, tumben baru pulang" ujar Kak Karin.

"Apa itu Pak? Martabak ya?" tanyaku ketika Bapak turun dari mobil dengan membawa sebuah plastik.

"Iya nih, martabak"

"Wihhh, rasa apa Pak?"

"Rasa jeruk."

"Jeruk?" jawabku bingung. Entah bagaimana rasanya tepung tapioka yang dipanggang dicampur dengan asamnya bulir dan kuatnya aroma jeruk.

"Iya varian baru, nih cium lah aromanya" ujar bapak, sambil menyodorkan plastik itu ke hidungku. Aroma harum khas jeruk sangat terasa, walaupun seperti tidak asing di indera penciumanku. Bapak tinggalkan plastik itu di atas meja di ruang tamu. Saat aku buka, ternyata isinya bukanlah martabak aneh dengan varian baru, melainkan kemasan tissue baru dan pengharum ruangan aroma jeruk yang biasa bergantung di AC ruang tamu, pantas tidak asing aromanya bagiku.

"Astaga Bapak, ngeprank perut nih ceritanya!?" tanyaku kesal.

"Hahaha, habisnya kamu semua yang bapak bawa dikira makanan, terakhir bapak bawa plastik isi baut aja kamu kira kacang rebus" jawab Bapak. Disusul Kak Karin yang ketawa jahat lagi.


Kita Hanya Perlu MengertiWhere stories live. Discover now