12 Februari 2018

43 9 14
                                    

Ilustrasi : Fahri dan Kak Lia

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Ilustrasi : Fahri dan Kak Lia

Senin, ya, hari ini hari senin, aku berhasil melewatinya, ya walaupun masih dua jam lagi, karena sekarang masih jam 22.00 malam WIB. Sungguh hari yang melelahkan, upacara bendera setiap hari senin yang seharusnya berjalan dengan hikmat justru menjadi kegiatan yang lumayan melelahkan karena pidato kepala sekolah yang begitu panjang dan rumit, layaknya Buku Ensiklopedia berjalan, Pak Kepsek berpidato mengenai beberapa penjelasan tentang sampah di areal sekolah, kebersihan toilet sekolah, kerapihan dan kelengkapan seragam siswa, rambut anak-anak cowok yang panjang melewati telinga, pembalut bekas pakai yang dibuang sembarangan di toilet sekolah, anak-anak cowok yang merokok di warung belakang sekolah dan perlengkapan make-up yang sering dibawa dan dipakai anak-anak cewek, semuanya di jabarkan secara detail, maklum jika banyak yang takut dengan hari senin. Apalagi jika disuguhkan pelajaran matematika di awal kegiatan belajar mengajar dan disusul pelajaran pendidikan kewarganegaraan sebelum jam istirahat, yang selalu membahas tentang tutorial menjadi warga negara yang baik mengikuti pedoman Pancasila dan UUD 1945, dengan ikut gotong royong dengan warga sekitar, toleransi umat beragama, menghormati dan menyapa guru ketika bertemu di jalan, membantu orang tua di rumah, mengerjakan PR dan hal-hal lainnya yang sesuai dengan prilaku budi pekerti, sungguh sarapan pagi yang mengenyangkan. Sampai pada detik-detik yang setiap saat selalu dirindukan oleh ratusan juta siswa di negeri ini, detik-detik di mana kita merdeka dengan cara kita sendiri, detik-detik di mana kita bebas mengeluarkan berbagai omong kosong, pembicaraan tidak penting, ghibah, dan lain-lain, detik-detik ini juga yang menjadi saat-saat di mana teman-teman yang menyebalkan mengeluarkan wujud aslinya.

"Fahri! Mau ke kantin ya?" tanya Dimas. Dia temanku, orangnya baik (kadang-kadang), lumayan pintar matematika selama tidak bertemu dengan perhitungan x dan y.

"Yes, you benar."

"Masya Allah, sungguh Allah adalah Dzat yang setia mendengar hati hamba-hamba-Nya yang beriman,"

"Hah? Apaan?"

"Wahai sahabatku yang tampan, gagah dan berani, idolanya sang malaikat pencabut nyawa, izinkanlah aku, sahabatmu yang kelaparan ini, untuk ..."

"Sssttttt ... dah ... dah, gak usah kebanyakan drama kolosal, mau nitip apa?" pungkasku kesal.

"Hehe ... nasi uduknya satu, gak usah pake ikan teri, sambelnya dipisah, sama es teh angetnya satu, nih duitnya."

"Es teh anget gimana? Lu kira es teh bisa di gradasi rasanya."

"Hahaha ... es teh manis maksudnya, hehe."

Hal seperti itu memang terkadang harus dilakukan agar tidak terjadi perang dingin diantara kami. Setelah jam istirahat selesai, pelajaran ketiga dimulai, ini adalah pelajaran yang akan membawamu ke alam bawah sadar kamu, sejarah, ya, pelajaran sejarah, jam 11 siang di mana matahari sudah mulai mendekati titik tengahnya, telinga kami yang tidak bisa mencerna pelajaran ini di suguhkan sebuah cerita tentang kisah Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta yang diculik ke Rengas Dengklok oleh para pemuda agar segera memproklamasikan kemerdekaan setelah kekalahan Jepang pada Perang Dunia ke II. Cerita itu membuat beberapa teman sekelasku termasuk Dimas memilih menyenderkan kepala mereka ke meja dan tertidur pulas, seperti mendengarkan dongeng sebelum tidur, dan semua itu berakhir dengan melayangnya penghapus papan tulis tepat ke bangku mereka, apalagi Bu Oges guru sejarahku adalah mantan atlet olahraga tolak peluru, keahliannya dalam kegiatan lempar-melempar tidak diragukan lagi, kecermatan dan konsentrasi yang baik membuatnya selalu tepat sasaran ketika melemparkan penghapus papan tulis ke bangku setiap siswanya yang tertidur, beruntung benda tersebut tidak begitu keras, hanya menyebabkan rasa kejut. Ia lakukan tidak lain untuk kebaikan siswanya, berbeda dengan temanku, aku adalah manusia yang suka dengan sejarah, aku sangat senang mengaitkan satu cerita masa lampau dengan cerita lainnya, demi menemukan titik kesamaan pada sebuah kejadian atau tragedi masa lampau.

"Lagi baca apa?" tanya Kak Karin. Ketika aku sedang membaca di teras depan rumah, di sampingku ada Kak Lia yang sedang sibuk menyelesaikan pekerjaan kantornya, padahal hari itu weekend.

"Buku" jawabku. "Iya tau, maksudnya buku apa, serius banget, tugas sekolah?" kata Kak Karin lagi.

"Buku sejarah, cerita tentang Yang Utama Guru Bangsa Tjokroaminoto."

"Siapa dia?"

"Beliau orang yang menjadi guru dari tiga orang bersejarah di negeri ini Kak, termasuk Presiden Soekarno."

"Bagusss ... sering-sering baca sejarah, biar gak lupa sama orang-orang hebat kayak mereka,"

Aku mengangguk sambil tersenyum lebar, sangat lebar, seolah membanggakan diri sendiri.

"Karena, sejarah adalah jawaban atas apa yang terjadi hari ini" ucap Kak Karin.

"Contohnya?" tanyaku. "Contohnya ya kamu ini, kalau dulu bapak sama ibu gak menikah, ya gak ada kamu" pungkas Kak Lia.

"Gak ada Kakak juga dong ..." ujarku.

Maka dari itu aku berusaha untuk terus suka dan mendalami pelajaran sejarah. Kembali ke pelajaran sekolah, setelah pelajaran sejarah, kelas kembali dikosongkan, para siswa buru-buru keluar kelas ketika bel jam sholat dzuhur berbunyi, takut kehabisan air untuk wudhu, karena sekolah sering banget kehabisan air, mengesalkan, disaat seperti itulah siswa-siswa yang gak kebagian air mendadak jadi seperti aktivis politik yang menanyakan uang SPP dikemanakan saja ... Apalagi ketika lagi wudhu tinggal membersihkan bagian kaki, air malah menipis dan habis, fase seperti itulah yang membuat kami bingung, lanjut masuk mushollah tanpa wudhu yang sah, mencari debu untuk tayamum atau terpaksa menunggu turunnya air dari langit atas hidayah dari yang maha kuasa.

Hingga setelah jam istirahat sholat selesai, pelajaran terakhir pun menjadi jam-jam di mana kegigihan dan keseriusan kalian dalam menuntut ilmu diuji, matahari semakin panas menyinari, angin seolah enggan untuk berhembus ke jendela-jendela kelas, wajah yang sudah seperti tidak ada gairah hidup, kipas angin kelas yang seperti tidak mengeluarkan angin sama sekali, hawa panas ditambah dengan bau keringat disetiap ketiak dan kerah baju teman sebangku, astaga ... (semoga teman sebangkuku tidak membaca tulisanku ini), otak seolah tidak bisa diajak kompromi ditambah perut yang bergemuruh seolah terjadi badai awan colomunimbus di dalam perut, dan lebih parahnya lagi atas segala keluhan tadi, pelajaran terakhir adalah fisika. Oke, baiklah, mungkin segitu saja aku cerita tentang di sekolah tadi, kalian bisa menilai sendiri apa yang kami satu kelas alami pada situasi seperti itu. 

Kita Hanya Perlu MengertiWhere stories live. Discover now