Retak

35 5 0
                                    

SEBELUM MEMBACA, ada baiknya VOTE dulu yaaaaa :b biar Author semangat bikin ceritanya

Itu dulu, sebelum pada akhirnya bapak dan ibu memilih berpisah atau cerai saat usiaku masih 6 tahun, ceritanya panjang mengapa rumah tangga yang terlihat baik-baik saja menjadi hancur. Dulu bapak cuma staff disebuah toko alat-alat dan bahan bangunan, bapak yang mencatat keluar dan masuknya barang, pendapatannya tidak begitu besar tapi cukup untuk membiayai pendidikan keempat anaknya, sampai pada akhirnya masalah datang ke keluarga kami, nenek dari pihak ibu jatuh sakit, aku lupa nama penyakitnya, aku bakal kasih tau kalau aku sudah ingat, intinya penyakit komplikasi, aku tidak begitu paham tentang penyakitnya, yang aku tau, nenek harus bolak-balik rumah sakit bahkan dirawat lama di rumah sakit, nenek cuma punya dua anak, yaitu ibu dan tante Rita, saat itu cuma ibu yang bisa membantu pengobatan nenek karena tante Rita baru saja kehilangan suaminya yang meninggal karena kecelakaan, tante Rita gak bisa berbuat banyak karena dia pun kesulitan ekonomi pada saat itu. Hingga waktu itu pengobatan nenek semakin bertambah, biaya rumah sakit tidak sanggup lagi ibu atasi, sampai ibu dan ayah berdiskusi untuk memakai uang tabungan keluarga, uang tabungannya pun tidak begitu banyak karena sebagian sudah dipakai untuk biaya kuliah mas Lukman, uang tabungan habis dan nenek belum menunjukkan perkembangan, berbagai cara ibu lakukan termasuk bekerja paruh waktu, untuk mendapatkan uang demi pengobatan nenek, di saat itu lah atmosfer rumah sudah mulai tidak menyenangkan, bapak sama ibu sering banget adu mulut pada saat itu.

"Kamu enggak akan aku izinin untuk kerja" ucap Bapak dengan nada tinggi.

"Ibu aku lagi sakit Mas, dia perlu biaya pengobatan, aku udah berusaha bujuk Mba Rita untuk bantu tapi dia juga lagi susah, gaji kamu juga gak cukup, gak ada cara lain, aku harus kerja"

"Loh, kamu gak bisa dong seenaknya bahas tentang pendapatan aku, aku kerja sampe malem begini itu demi kalian, demi keluarga ini, untuk makan aja kadang kita kesusahan, apalagi untuk biaya rumah sakit ibu kamu."

"Mas gak mau bantu kan? Maka dari itu ijinin aku untuk kerja, aku bakal cari uang sendiri, aku yakin ibu bakal sembuh, dia bisa ngelawan penyakitnya."

"Aku bukan gak mau bantu, tapi aku ini cuma karyawan, karyawan ... kalau kamu kerja, lalu yang ngurus rumah siapa, fisik kamu itu lemah, kamu punya penyakit juga, kamu mau bebaring satu rumah sakit sama ibu kamu?" jawab Bapak. Ibu hanya terdiam dan mengeluarkan wajah yang bingung bercampur sedih.

Kebahagiaan benar-benar gak selamanya ada, semenjak malam itu, ibu seolah menjadi buntu untuk berfikir, hingga ibu memutuskan meminjam uang kepada rentenir ataupun koperasi, ibu melakukan berbagai cara agar pengobatan dan biaya rumah sakit nenek bisa teratasi, bapak sudah sering memarahi ibu untuk tidak berhutang lagi. Tapi mungkin karena sudah terlalu lelah berpikir, ibu justru menambah nominal hutangnya, belasan penghutang. Sampai kejadian yang tidak diinginkan terjadi, toko tempat bapak bekerja harus pindah ke tempat yang jauh, di luar jangkauan bapak, hingga akhiranya bapak memutuskan untuk berhenti dari pekerjaannya, dan berniat mencari pekerjaan baru, tapi nyatanya tidak semudah itu, bapak sempat kesulitan mencari pekerjaan hingga menganggur beberapa bulan, kebutuhan sehari-hari kami penuhi dengan memakai uang sisa tabungan, dicukup-cukupkan, bahkan Kak Lia sempat menanam beberapa sayuran di belakang rumah, di lahan orang lain, kami diijinkan untuk menanam di sana, cabai, bawang merah, dan beberapa tanaman bumbu dapur Kak Lia tanam demi menghemat pengeluaran, dan tentu saja, pembayaran hutang Ibu jadi terhambat, keributan di dalam rumah antara ibu dengan bapak puluhan kali terjadi dalam satu hari ditambah lagi dengan rentenir dan dekolektor yang secara bergantian menyambangi rumah kami, mengetuk kaca jendela dengan kuat, tetangga sekitar juga pasti merasa terganggu, malu kami dibuatnya.

Hampir setiap hari juga Ibu menangis terus-terusan setiap malam, dan entah mengapa juga, saat itu bapak menjadi berubah, menjadi sosok yang seolah menakutkan bagi anak-anaknya, mas Lukman bahkan memilih menginap di tempat kerjanya karena sudah tidak tahan sama adu mulut antara ibu dengan bapak. Di saat seperti itu, hanya kak Lia yang menjadi pelindung kami, dia yang berusaha menutup telinga dan mata kami dari perdebatan mereka yang mengerikan itu, kami dibuat kebingungan oleh mereka berdua, dibuat takut dan lelah akan segala keributan yang terjadi.

"Gak pernah cukup!!!" bentak Bapak ke Ibu. "Semuanya sia-sia, aku kerja dari pagi sampai malam, sia-sia gara-gara kamu, lalai kamu! Aku udah capek ngeladenin orang-orang yang setiap hari menagih hutang kamu itu, apa yang kamu dapatkan, apa? Hanya kemiskinan, biaya sekola anak-anak jadi nunggak, kebutuhan pokok jadi habis, mau makan apa kita besok? Biar mati kelaparan aja kita sekeluarga, habiskan semua uang itu ke rumah sakit!"

"Aku ngelakuin itu semua karena ada alesannya Mas, kamu ngelarang aku kerja, kamu juga gak ngebolehin aku pakai uang kamu untuk biaya pengobatan ibu ... Aku aku mau kehilangan Ibu, dia harus lihat cucu-cucunya sukses" jawab Ibu sambil menangis. Aku ikut menangis saat itu, di kamar kak Lia, karena kak Lia membawaku dengan Kak Karin ke kamarnya.

"Salahin terus! Di saat seperti ini aja kamu masih sempat nyalahin aku, sekarang yang membuat situasi seperti ini siapa? Siapa? Itu karena kamu, bahkan ketika aku mundur dari pekerjaan gak akan jadi masalah, karena uang tabungan pastinya cukup memenuhi kebutuhan sampai aku dapet pekerjaan lagi, tapi karena hutang-hutang kamu itu, anak-anak sengsara gara-gara kamu!"

"Bapak ... Ibu ... kalian boleh berantem, tapi jangan depan adek-adek Lia, mereka nangis, Lia gak suka lihat mereka nangis" pungkas Kak Lia sambl menangis tersedu-sedu. Aku dan Kak Karin pun keluar dari kamar Kak Lia, berdiri didepan pintu dan menangis menatap ke arah Bapak dan Ibu. Bapak hanya mengeluarkan raut wajah yang tidak pernah kami lihat sebelumnya, dia lalu pergi keluar rumah, dan Ibu lalu memeluk kami saat itu sambil menangis.

"Kalian jangan nangis, lap air matanya" kata Ibu sambil mengelus kepalaku.

"Bapak jahat, bapak marahin Ibu terus, Fahri takut sama bapak" ucap mulut kecilku.

"Fahri gak boleh ngomong gitu, bapak gak jahat, bapak sayang sama kalian, bapak gak marah sama Ibu, bapak itu lagi nasehatin Ibu, kayak Ibu ke kalian saat ini, hanya saja, cara bapak beda, bapak itu orangnya tegas, dia gak jahat kok ... Ibu juga gak apa-apa"

"Tapi Ibu nangis terus tiap hari, Karin jadi ikut sedih" kata Kak Karin kecil.

"Ibu itu nangis bukan karena bapak, Ibu nangis karena sedih sampai hari ini nenek masih di rumah sakit, udah, sekarang dilap air matanya, cuci kaki, terus tidur ya, besok kan sekolah."

Kami pun menuruti perintah Ibu.

Kita Hanya Perlu MengertiWhere stories live. Discover now