Meninggalkan Nadaf

48 2 0
                                    

Aya tengah memilah pakaian di lemarinya. Hari ini ia akan pamitan pada Nadaf, malam nanti ia akan pergi ke Ceko. "Ngapain aku milih baju ya?" Gumamnya. Aya menggelengkan kepalanya. Lalu tatapan matanya terjatuh pada celana baggy cargo pants. "Hm itu aja!"

Iya pada akhirnya Aya menggunakan hoodie crop lengan panjang--yang menampilkan perut ratanya yang sexy--dan baggy cargo pants dipadukan dengan sepatu skets putih.

Aya melihat pantulan tubuhnya didepan cermin. "Hm bagus cantik!" Aya pun pergi ke meja rias dan memakai make up natural yang menambah kesan cantiknya.

Terdengar suara ketukan pintu diluar,

"Nona mari sarapan sebelum pergi,"

Ah iya hari ini Aya akan meninggalkan rumah ini ya. Mungkin ada baiknya hari ini sarapan di meja yang sama dengan orang tuanya dan Riel. Hitung-hitung berpamitan, namun apakah ia bisa?

"Nona Ayo, tuan muda Riel sudah menunggu,"

Aya menghela nafas panjang. Siap tidak siap harus siap. Paksa! Bisa! Terbiasa! Yah! Aya mengepalkan tangannya lalu melangkah menuju gagang pintu. Ia membuka knop pintu dengan perlahan dan...

Pemandangan yang ia lihat adalah...

Adiknya Riel tengah menangis sambil memegang sebuah lukisan. Lukisan seorang gadis yang tengah menatap dunia luar tapi lengannya terborgol. Riel memang pandai melukis, kalo tidak salah lukisan Riel yang ini ditawari masuk galeri internasional. Tapi, Riel malah memberikannya pada Aya sekarang.

"Ini buat kakak hiks!" Ucapnya sambil menyerahkan lukisan tersebut. Aya menerimanya air matanya menetes, seperti inikah perpisahan?

Ia menaruh lukisan tersebut di Ahzi dan memeluk Riel erat. Mencium kedua matanya, pipinya, dan puncak kepala Riel.

"Kakak jangan lupain Iel! Iel bakal tunggu kakak hiks!"

"Iel janji Iel bakal banggain mama sama papa," ucapnya disela tangis.

Aya terharu, ia jadi tak tega. Tapi harus. "Sudah Iel, ayo makan bareng dimeja makan. Kakak janji gaakan lupain Iel, kita bisa vidcall setiap hari nanti." Ucap Aya menenangkan, Riel mengangguk sambil mengusap matanya.

Lalu mereka pun melangkah menuju meja makan bersama. Rasanya sudah lama Aya tak jalan beriringan dengan Riel. Entah kenapa meja makan juga sudah rapih, dan lengkap. Iya lengkap, kedua orang tuanya hadir. Meskipun mereka tengah sibuk memandang gawai yang ada digenggamannya.

Rasa-rasanya Aya rindu makan bersama seperti ini, sampai tak sadar air matanya menetes. Satu yang ia rasakan, sesak. Kenapa semua harus membaik ketika Aya memilih pergi?

Kenapa baru sekarang?

Kenapa tak dari lama?

Kenapa, kenapa , kenapa? Dan masih banyak kenapa yang lain. Aya menunduk ia terharu sungguh.

Masakan terakhir telah diantarkan pembantu rumah, dan sekarang meja makan sudah penuh dengan makanan favorit Aya. Detik berikutnya hati Aya terasa ngilu, apa ini sebuah perayaan karena akhirnya Aya meninggalkan rumah ini? Atau sebuah persembahan yang ingin mereka berikan sebelum Aya pergi?

"Ayo makan, berdoa mulai!" pikiran Aya terpotong dengan suara bariton milik sang Ayah. Aya sungguh ingin menangis sekarang, ia ingin menangis bahagia.

"Aya, makan yang banyak ya," ucap Mamanya sambil tersenyum.

Hati Aya terenyuh. Kapan terakhir Aya melihat senyuman itu? Aya menangis lagi, ia tak sanggup. Kenapa semua harus membaik setelah Aya memutuskan pergi? Kenapa?!

Padahal Aya tak pernah meminta banyak hal, hanya ini. Sebuah pengakuan.

Aya mengusap air mata yang terus menetes, Iel yang duduk disampingnya memeluk Aya.

"Kakak jangan nangis, kakak iel itu kuat!" ucapnya polos. Aya mengangguk sambil mengusap kasar air matanya. Namun apa daya? Air mata itu terus mengalir berbarengan dengan suara decitan kursi, ayah Alya mendekat. Mengusap rambut Aya pelan. Aya semakin menangis ini menyesakkan.

"Alya Naradian, Maafkan saya," ucap papanya. Aya mengangguk. Ia sudah memaafkan mereka dari dahulu.

"Entah kenapa saya tak ingin kamu pergi ke Ceko Alya,"

"Tak bisakah kamu mengubah keputusanmu?"

"Saya sadar saya sangat brengsek tak mengakuimu hanya karena kamu sedikit berbeda,"

"Saya minta maaf Alya,"

Bahkan hanya sekedar untuk mengucapkan kata 'Nak' pun rasanya sangat sulit dan sangat tak pantas.

Alya semakin menangis, dan entah kenapa hati ayahnya terasa teriris. Ia menyesal padahal putrinya nampak sehat, lihatlah sekarang ia hanya sedikit berbeda dari mentalnya. Dan yang Aya butuhkan selama ini hanyalah dukungan dari kedua orangtuanya, Aya tak butuh obat-obatan Aya hanya butuh perhatian, pengakuan.

"Aya..."

"Aya udah maafin Papa sama Mama,"

"Tapi keputusan Aya sudah bulat Pa, Aya bakal tetep pergi ke Ceko, dengan atau tanpa izin dari kalian berdua,"

Ucapan Aya menohok hati orangtuanya. Tapi mereka sadar, mereka pantas menerima ini.

Riel terduduk diam, ini hari terakhir Aya disini bukan suasana seperti ini yang Riel inginkan. Menyadari perubahan Iel, Aya langsung menghapus kasar air matanya.

"Ah sudahlah mari manfaatkan waktu sebaik mungkin," Aya tersenyum tulus. Manis sekali.

Ahzi yang sedari tadi melihat di kejauhan tersenyum. Alya sudah bangkit dan ini berkat Nadaf. Ahzi tak tau apa yang Nadaf lakukan sampai Alya bisa seperti sekarang, yang jelas Ahzi sangat berterima kasih.

Jam menunjuk angka 6. Mentari sedikit demi sedikit menuju barat untuk terbenam dan Aya sekarang tengah berdiri disebuah rumah yang menjadi saksi bisu atas apa yang terjadi beberapa hari kebelakang. Aya mengetuk pintu beberapa kali, tak ada sahutan.

Akhirnya ia memberanikan diri membuka knop pintu. "Lho ga dikunci?" gumamnya.

Aya mengusap pelan kursi, televisi, meja. Kenangan bersama Nadaf tiba-tiba muncul. Huft. Kenapa perpisahan seakan menjadi jembatan nostalgia? Lagi pula kemana Nadaf. Aya celingukan dan memanggil Nadaf beberapa kali, tapi tak ada yang membalas.

"Nona apa penghuninya ada?"

Aya menggeleng, bibirnya menekuk padahal hari ini ia akan meninggalkan indonesia.

"Kenapa tidak ditelpon aja Nona?"

"Aku lupa minta nomor handphone nya Zi,"

"Lalu bagaimana Nona? Satu jam lagi kita harus sudah sampai di bandara,"

Alya semakin murung. Detik berikutnya Aya berlari menuju kamar Nadaf, ia mengambil secarik kertas dan bolpoint lalu menulis surat untuk Nadaf.

"Kok rumah si Adaf banyak bodyguard nya ya?" gumam Dani.

"Permisi," ucapnya.

Ahzi keluar menemui Dani.
"Ada apa ya ko anda kerumah ini?"

"Oh maaf sebelumnya, saya Ahzi dan Alya mencari Nadaf tapi sepertinya tak ada siapa-siapa di dalam," jelas Zi.

"Oh gitu, setau saya Nadaf lagi dirumah sakit, mungkin dia belum sempet pulang makanya rumahnya ga di kunci,"

Ahzi mengangguk "Kalau gitu terimakasih," Dani mengangguk dan melambaikan tangannya pamit. Ahzi ingin memberi tau Alya kalau Nadaf di Rumah Sakit tapi, sebentar lagi jam 7. Mereka harus segera ke bandara.

"Nona, barusan saya bertemu tetangga Nadaf,"

"Lalu bagaimana? Dimana dia Zi?"

"Nadaf sedang dirumah temannya,"

"Ah gitu ya,"

"Nona, kita harus segera ke bandara,"

"Aku tau Zi, tapi--"

"Nona sebentar lagi pesawat kita take off,"

Alya menghembuskan nafasnya kasar. "Baiklah," mereka pun meninggalkan pekarangan tempat tinggal Nadaf.

Sebelum pergi Alya menaruh surat di nakas samping tempat tidur Nadaf.

Help MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang