BAB 1: Kisah Kita

2.3K 295 98
                                    

Bismillahirrahmanirrahim

~.~

"Ada rasa yang harus layu sebelum mekar, hanya sebuah keegoisan karena takut akan tertolak jika berani mengutarakan. Diam bisa menjadi opsi paling aman, tapi pada satu sisi sekaligus menyudutkan diri sebagai pengecut."

~.~

Malam ini langit masih tetap sama, tidak pernah berubah menjadi mustard, apalagi pink fanta. Suasana kamar asrama pun sudah sepi karena tiba saatnya untuk seluruh santri beristirahat. Namun, tidak denganku. Malam ini perasaan kembali berkonspirasi dengan indra penglihatan untuk tidak mengizinkan mataku merasakan kantuk walau semenit. Ck, curang. Saat ini badanku merasa terzalimi karena tidak mendapatkan haknya untuk beristirahat, padahal jadwalku seharian cukup padat.

Aku lirik sebentar Meda dan Hafshah yang sudah lelap tidur di ranjang susun sebelah, sebelum kemudian merunduk untuk melihat Gladys yang juga sudah damai dalam tidurnya.

Satu tahun mengenal mereka membuatku betah dan terus singgah. Mereka seperti utusan yang sengaja Allah kirim untuk tetap memenjarakanku pada penjara suci ini. Aku yang cenderung sulit akrab dengan orang baru, bisa seketika saja membaur dengan mereka. Mereka menjelma sebagai emulsifier yang mengemulsikanku sehingga dapat dengan mudah menyatu dengan tempat ini, Darul Akhyar. Sebenarnya, bukan hanya aku anak baru di antara mereka, tetapi Gladys pun nyatanya sama. Kami berdua datang satu tahun yang lalu, saat semester awal kelas sebelas.

Persahabatan kami terjalin dengan baik. Ya, meski setiap hari selalu ada saja keributan yang terjadi. Entah itu Meda yang selalu menarikku dan Gladys untuk menonton drama Korea kesukaannya di lab kompi, Hafshah yang sering bersenandung soundtrack film India yang tidak aku, Gladys, dan Meda pahami, ataupun Gladys yang selalu ngomel-ngomel saat ada barangku yang berserakan hingga sampai jatuh ke atas tempat tidurnya. Mereka sukses mencoretkan warna pada duniaku yang semula mungkin tidak terlalu berwarna.

Di sini, di kamar asrama Rufaida yang terletak di lantai dua gedung putri, kami habiskan waktu kami setelah beraktivitas seharian. Saling membagi kisah dan keluh kesah. Sebenarnya, di sini kami tidak hanya berempat. Ada juga Eren, gadis paling introver yang aku kenal di Darul Akhyar. Selain satu kamar, aku juga satu kelas dengannya. Tapi percaya deh, meski intensitas pertemuanku dengannya lebih sering ketimbang yang lain, tapi aku tidak pernah mendengar dia berbicara dengan kalimat yang panjang. Bahkan, mengenalnya jadi mengingatkanku dengan salah satu lagu populer milik Sabyan. Iya, Eren itu kalau ditanya balasnya gak jauh dari sekedar, "Hm ... hm ... hm ...."

Beruntung ada ustadzah Benaz yang menjadi wali kami di sini. Ustadzah yang tetap gaul meski sudah tidak pada usia remaja seperti kami itu, selalu bisa memahami setiap perwatakan masing-masing santri yang dibimbingnya. Hingga mungkin, Eren bisa membagi ceritanya dengan ustadzah Benaz jika malu dengan kami.

Darul Akhyar, detak para santri sekaligus akar dari kemajuan desa. Kuatnya suatu pohon tergantung pada seberapa kokoh akar itu mencengkeram tanah. Dan Darul Akhyar sudah membuktikan bahwa akarnya lebih dari pantas untuk dijadikan ujung tombak dalam mensejahterakan apa saja yang ada di dalam dan di sekitarnya.

Darul Akhyar, inilah tempat di mana semua setara walaupun perbedaan sangat terlihat kentara. Tapi, akulturasi telah menyatukan kita dengan satu akidah yang bersarang di dalam dada.

Di sini, aku merasa kembali hidup. Hidup dengan artian yang lain tentunya, karena manusia tidak akan pernah bisa bereinkarnasi. Hidup yang kumaksud adalah ruhku yang seolah kembali dicharge untuk lebih peka dengan apa yang aku butuhkan, bukan hanya sekedar yang aku inginkan. Satu tahun digembleng pengetahuan di sini membuatku dipaksa untuk membuka mata dengan lebar, bahwa banyak hal yang selama ini tidak terpikir olehku. Aku pernah membaca salah satu kutipan, bahwa apa yang sebenarnya kita tidak tahu, bukan berarti tidak ada. Dan aku kini membenarkan itu.

Seperti hal gaib contohnya. Ya, aku bisa melihat mereka yang orang lain tidak bisa lihat. Aku bisa merasakan kehadiran mereka meski orang lain tidak bisa. Seperti saat ini, jika mereka bilang bahwa di dalam kamar ini hanya ada lima orang, yaitu aku, Gladys, Hafshah, Meda dan Erin. Maka lain jika yang ditanya adalah aku. Aku akan dengan jujur berkata bahwa di sini ada enam makhluk Allah. Kami berlima sebagai manusia, dan satu sosok yang sedari tadi terus memperhatikanku dari sudut ruangan.

Aku tidak terlalu memedulikannya. Bukankah memang Allah menciptakan setiap makhluk untuk saling berdampingan? Seperti sebuah rantai makanan dalam ekosistem contohnya. Semua saling terhubung untuk menjaga keseimbangan lingkungan. Maka begitulah dengan kita dan makhluk Allah yang lain. Kita saling berdampingan agar tercipta sebuah koneksi yang utuh.

Sebelumnya, hal seperti ini jarang terjadi kepadaku. Berawal ketika aku berada di Darul Akhyar, semua seakan terbuka lebar. Aku bisa menyaksikan mereka yang tidak semua orang bisa lihat, dengan santai beraktivitas di depanku. Kaget? Sudah pasti awalnya aku kaget karena sudah kukatakan sebelumnya aku tidak sepeka ini. Tapi selama itu juga aku berusaha untuk tetap tenang, jangan sampai mengundang kecurigaan orang lain dan membuat mereka takut. Setidaknya, dengan aku bisa mengontrol diriku sendiri, semua akan tetap baik-baik saja. Itu pemikiranku. Sejauh ini, hanya Meda, Gladys dan Hafshah yang mengetahui tentang hal ini. Tidak kuizinkan orang lain tahu, termasuk ustadzah Benaz sekalipun.

Aku menghempaskan tubuhku pada kasur dengan menghela napas panjang. Kuamati langit-langit kamar yang berwarna putih gading.

"Tidur, La. Berisik mulu, sih! Besok kalau sampe telat bangun, aku males ah bangunin kamu."

Suara omelan datang dari Gladys dengan suara serak khas orang yang mengantuk. Sudah dipastikan dia terbangun karena suara decitan ranjangku yang di atas ranjangnya. Aku hanya diam, tidak menjawab gerutuan Gladys karena sudah dipastikan sahabatku itu sudah terlelap kembali.

Suara rintik gerimis mulai mengalun indah bersamaan dengan aroma petrikor yang datang terbawa semilir angin yang menelusup lewat ventilasi kamar. Musim penghujan sudah datang, itu artinya tanah akan kembali becek. Hujan adalah salah satu Rahmat Allah, aku tahu itu. Aku juga tidak membencinya karena hujan juga merupakan salah satu waktu mustajab dalam memanjatkan doa. Hanya saja, aku tidak suka dengan beceknya. Ribet, basah dan kotor adalah hal-hal yang menjadi alasan utama aku tidak begitu nyaman ketika hujan.

Kini, aroma tandusnya tanah yang terguyur hujan seakan membawaku untuk menyedekap rindu. Hingga tidak sadar, aku seketika bergumam, "Teh Raka, Rai sono." (Teh Raka, Rai kangen).

Entah akan seperti apa hubungan persaudaraan kami ke depannya nanti. Aku hanya sedang berusaha untuk tidak egois. Langkahku yang memilih pergi juga menjadi salah satu usaha untuk mempertahankan sebuah keutuhan dalam keluarga. Tentunya, dengan caraku sendiri.

Aku kembali menegapkan tubuhku, duduk dengan kaki bersila. Kuraih sesuatu yang sejak tadi menarik atensiku. Hingga hari ini, aku bisa beraktivitas senormal mungkin dan sudah merasa sangat kerasan tinggal di pesantren. Maka dari itu, kini aku beranikan diri untuk kembali membuka sebuah benda yang membuat langkahku sampai di Darul Akhyar. Abah memberikanku sebuah buku yang entah apa isinya, saat umurku masih enam tahun. Tidak ada pembahasan lain yang abah berikan sebagai penguat alibi mengapa beliau memberikannya padaku. Abah hanya berpesan jika aku harus membukanya saat aku merasa sebuah kekosongan dan juga sudah tidak memiliki arah. Semua itu terjadi satu tahun yang lalu, saat aku sudah tidak lagi bisa mempertahankan sebuah kebersamaan dengan mereka yang kusebut keluarga.

~.~

Jangan sungkan untuk ingatkan aku jika ada kesalahan.

Aku izinkan siapapun untuk mengutip tulisan dari ENIGMA, tapi dengan syarat harus mencantumkan sumber. Jangan lupa juga tag akun swp_writingproject dan kanyaahasatidz, tag aku juga boleh :)

Terimakasih sudah membaca, terimakasih banyak yang sudah memberi bintang dan komentar terbaiknya. Aku sayang kalian, meski aku gak kenal kalian. Uhuyyy :p

Dah lah, babay! Maunya next update di jam berapa?

Ketjup jauh💕

FinaSundari

ENIGMA [TERBIT] ✔Kde žijí příběhy. Začni objevovat