BAB 11: Itsnan

946 161 81
                                    

Bismillahirrahmanirrahim

~.~

Tanpa mengeluarkan suara gaduh sedikitpun, aku berhasil mengambil buku teka-tekiku. Penghuni kamar Rufaida sudah masuk ke dalam mimpi semua, tinggal lah aku yang malam buta seperti ini masih pecicilan.

Nyeri haid itu sangat tidak nyaman, itu yang membuatku sulit untuk tidur. Jadi, aku memutuskan untuk keluar kamar, cari angin dengan kembali mencoba memecahkan teka-teki nomor wahid.

Setelah buku dan pulpen sudah ada di tanganku, aku segera melangkah dengan pelan untuk menuju daun pintu. Aku memutar knopnya dengan perlahan, agar orang-orang yang sedang tidur di kamar ini tidak ada yang protes dengan keberisikan yang sudah aku ciptakan.

Puk. Dengan spontan, aku menutup mulutku saat merasakan sebuah tepukan mampir di bahu sebelah kananku. Aneh sekali, padahal tadi aku sudah memastikan Gladys, Meda, Hafshah dan Eren sudah tertidur di ranjang masing-masing. Aku tetap tidak ingin menoleh, sibuk memikirkan segala kemungkinan yang bisa saja terjadi.

Hingga hitungan kesepuluh, sebuah sura menelusup gendang telingaku, membuat aku membuka mata yang semula terpejam rapat.

“Mau ke mana, La?”

Kuputar tubuhku dengan segera, dan langsung memandang penuh kesal kepada Eren yang berdiri di depanku dengan muka lempengnya. Jangan lupakan kejadian tempo lalu saat mata pelajaran ning Ais, Eren yang janji akan membangunkanku saat ning Ais mulai curiga malah tidak menepati janjinya. Aku masih kesal sama Eren, masih gak mau masang muka senyum kalau sama dia.

“Ngagetin aja!” gerutuku.

Eren hanya menggaruk pelipisnya dengan canggung. Tidak lama, dia berujar maaf karena telah mengagetkanku.

Tanpa basa-basi lagi, aku langsung memutar badan untuk kembali melakukan niat awalku mencari udara malam.

“Mau ke mana, La?”

Pertanyaan yan sama kembali Eren lontarkan saat aku sudah keluar dari kamar.

“Ih, Eren. Gak usah kepo kaya Dora, deh!”

“Udah malem.”

“Siapa bilang masih siang? Kalau kamu kepo aku mau ke mana, tanyakan saja pada peta! Peta! Peta!”

Aku langsung menutup pintu dengan mencebikkan bibirku. Beberapa hari ini Eren memang sedikit menyebalkan bagiku. Mungkin, ini juga salah satu pengaruh dari datang bulanku, mood-ku memang selalu ancur menbuatku sering uring-uringan saat tamu itu muncul. Semuanya yang berjalan di atas bumi ini jadi tiba-tiba terlihat begitu menyebalkan. Jadi, tolong dimaklum, ya. Namanya juga perempuan.

Dengan langkah riang, aku menuruni setiap anak tangga menuju lantai dasar. Meski suasana sudah sangat sepi, dan digantikan oleh ramainya ... tidak, aku sedang tidak mau membahas itu. Yang jelas, aku merasa aman dan nyaman dengan posisi saat ini, merebahkan tubuh di taman asrama putri dengan pandangan lurus pada purnama malam ini yang seolah tepat satu jajar dengan mataku.

Memandang langit malam seperti ini, sebenarnya jadi mengingatkanku kembali pada kak Lintang. Entah mengapa, semenjak kiriman surat dari dia, sekarang aku jadi sering teringat kak Lintang jika berkaitan dengan hal-hal yang pernah kami lakukan bersama. Seperti saat ini, melihat bintang. Dulu, saat kami masih kecil, dengan semangat dia selalu menarikku untuk ikut melihat bintang bersamanya di taman komplek. Aku yang saat itu masih bocah, tentu sangat bahagia ketika diajak oleh seseorang yang umurnya hampir tiga tahun lebih tua dariku.

ENIGMA [TERBIT] ✔Opowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz