BAB 3: Gugur

1.3K 218 115
                                    

Bismillahirrahmanirrahim

~.~

"Susah payah mendaki langit, tapi yang didapat hanya kegagalan yang selalu menghimpit. Mungkin, itulah cara Allah dalam mengingatkan, bahwa diri terlalu lama tidak tenggelam dalam kenikmatan memohon hanya kepada-Nya."

~.~

Sebanyak 312 siswa sekolah menengah atas yang menjadi delegasi dari masing-masing kabupaten telah memenuhi tempat berlangsungnya OSN (Olimpiade Sains Nasional), atau yang lebih tepatnya OSP (Olimpiade Sains Provinsi) karena baru sampai pada tingkat Provinsi.

Lomba dipetakan menjadi sembilan bidang keilmuan yaitu, Matematika, Kimia, Fisika, Biologi, Ekonomi, Astronomi, Kebumian, Geografi, serta Informatika. Sedangkan aku sendiri, ditunjuk sebagai delegasi Biologi setelah meraih nilai tertinggi saat seleksi di tingkat kabupaten beberapa waktu lalu.

Hari ini, merupakan hari kedua dilaksanakannya olimpiade. Hari ini pula, saatnya aku maju untuk membabat habis lima puluh butir soal, ditambah pilihan benar atau salah dalam kurun waktu seratus delapan puluh menit. Ada tiga bidang yang diujikan yaitu Biologi, Informatika dan Astronomi, setelah hari pertama adalah Matematika, Kimia dan Fisika. Sedangkan tiga bidang yang lain, yaitu Ekonomi, Geografi dan Kebumian akan diujikan besok pada hari ketiga.

Semua peserta sudah masuk ke dalam ruangan dengan hanya membawa alat tulis yang sudah ditentukan dan sekiranya dibutuhkan saat mengerjakan soal nanti. Di dalam ruangan nanti, semua peserta tidak ada yang boleh meminjam alat tulis peserta lain. Oleh sebab itu, sebelum masuk tadi aku berulang kali mengecek, jangan sampai kebiasaanku yang selalu pikun dan ceroboh ini terjadi disaat yang genting.

"Hai, boleh kenalan?"

Aku mendongakkan kepala saat suara itu mengintrupsi pendengaranku. Peserta perempuan yang duduk tepat di depanku mengajakku berkenalan. Dari wajahnya, aku bisa melihat bahwa dia tipe yang mudah bergaul dengan orang baru. Berbeda dengan aku yang sulit untuk bisa  nyaman dengan kehadiran orang yang baru kutemui.

"Aku Gita tanpa Gutawa, dan aku suka tertawa. Kamu siapa?"

Aku hanya bisa melongo setelah mendengar dia menyebutkan namanya dengan aneh. Oh, iya, jangan lupakan dia yang terus memamerkan deretan giginya yang terpasang behel warna hijau. Entah mengapa, pikiran jahilku langsung mengarah pada potongan lirik lagu dangdut yang dulu sempat viral hingga diputar berulang kali oleh orang-orang.

Huft. Fokus, Rai, jangan biarkan pikirkan jahilmu keluar dulu. Sangat tidak tepat.

"Raina," jawabku dengan senyum yang ala kadarnya. Dalam hati aku merutuki tingkahku yang bahkan sangat kaku ketika menyebutkan namaku sendiri.

"Senang bisa berkenalan sama kamu Raina. Nanti setelah ini aku kasih nomorku, ya. Sepertinya kita bisa cocok jadi teman."

Kok, malah aku yang gak yakin kalau bisa berteman sama dia, ya?

Belum sempat aku membalas ucapannya, Gita sudah kembali melontarkan pertanyaannya.

"Kamu asal mana?"

"Wajib kujawab?"

"Sangat wajib!"

"Alasannya?"

"Siapa tahu, kamu adalah tetangga dari calon mertua di masa depanku," jawabnya masih dengan cengiran yang sama.

Haish, sesi perkenalan ini terasa sangat konyol.

Percakapan yang hanya didominasi oleh Gita, terhenti saat pengawas mulai membuka suaranya. Lelaki yang kutaksir berumur sekitar empat puluh tahunan itu memiliki tubuh tambun dengan kepala pelontos.

ENIGMA [TERBIT] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang