BAB 10: Pulang

984 175 110
                                    

Bismillahirrahmanirrahim

~.~

Kepulangan acap kali menjadi sesuatu yang sangat menyenangkan. Dengan pulang, kita akan kembali kepada pangkuan yang selalu saja membuat rindu. Mengisi kembali kekosongan yang semula sudah terkikis habis oleh kejamnya jarak. Kepulangan sendiri identik dengan buah tangan sebagai bukti dari pengembaraannya. Entah itu berupa fisik, maupun ilmu yang didapat selama pergi jauh dari pangkuan orangtua.

Kita pergi dengan tangan kosong, berharap untuk pulang mendapatkan sebuah bekal. Seperti halnya dunia dan akhirat, dunia tempat pengembaraan. Kita lahir dengan tangan yang mengepal, kosong. Hingga akhirnya nanti, harapan pulang dengan iman yang selalu didekap dalam dada selalu kita upayakan dalam sebuah ketaatan. Sebuah kepulangan yang bukan lagi menyenangkan, tapi penuh haru untuk mereka yang ditinggalkan. Maka, dikatakan celakalah mereka yang pulang dengan bersedih hati, sedang orang-orang yang ditinggalkan malah tertawa bahagia. Naudzubillahimindzalik.

Jika di dunia ini ada dua jenis kepulangan, yang mendatangkan bahagia dan mendatangkan kesedihan, maka kini aku akan bercerita tentang kepulangan yang membahagiakan. Pulang yang dalam artian kembali kepada pangkuan orangtua, bukan Sang Pencipta.

Sejak kemarin, bahkan para ahlul bait sudah mulai sibuk mempersiapkan sebuah penyambutan yang mereka bilang sederhana, tapi nyatanya dapat membuat heboh satu pesantren. Apa lagi jika bukan penyambutan kepulangan gus Nuril, putra kesayangan dan kebanggaan kyai Akhyar serta ibu nyai Halimah.

Dari kemarin pula, aku tidak melihat ustadzah Windy berlalu-lalang di lingkungan pesantren. Sudah dipastikan sesepuh MSG itu sedang sangat sibuk di ndalem, membantu ibu nyai Halimah untuk menyiapkan berbagai macam jamuan.

Kemarin lusa ustadzah Windy kembali berceloteh dengan riangnya, excited akan kedatangan adik iparnya yang tidak pulang hampir tiga tahun lamanya, seolah tidak ingat dengan insiden kepergok gus Emil di kantin asrama tempo lalu.

Ustadzah Windy bilang, bahwa beliau akan sibuk untuk membuat berbagai macam kue tradisional seperti cucur jawa, putu ayu, lemper, kue lapis, apem, dan masih banyak lagi sehingga aku tidak bisa mengingatnya.

Saat itu, yang aku ingat hanya perkataanku kepada ustadzah Windy yang dijawab dengusan oleh beliau.

“Sesepuh, jangan lupa pisahin buat MSG ya makanannya!”

“Nanti kalian ikut gerombolan penyambutan aja, siapa tahu kebagian makanan,” ucap ustadzah Windy kala itu.

Masalahnya adalah, kami sebagai santriwati paling kece se-Darul Akhyar sudah memutuskan untuk tidak itut berpanas-panasan di bawah terik matahari hanya untuk menyambut gus Nuril. Skincare mahal, meskipun sudah pakai sunscreen tetap saja kita khawatir wajah kita akan berubah gelap. Lagi pula, kita harus stay cool disaat santriwati lain kelepek-klepek menanti kepulangan gus Nuril.

Tapi yang namanya rencana manusia memang kerap kali salah. Kami seolah kemakan omongan sendiri karena sekarang kami malah sedang berdiri di bawah pohon dengan memperhatikan orang-orang yang sibuk di Masjid. Semua ini karena Gladys yang entah mengapa tiba-tiba menarik kami ke sini. Padahal niat awalnya tadi, kami ingin menghampiri ustadzah Windy untuk meminta jatah snack.

Santri putra yang memang mendapat kewajiban untuk menyambut, sudah berkumpul di dalam Masjid, sedangkan santri putri sudah memenuhi pelataran Masjid, menanti-nanti kepulangan putra kyai. Aku menganggap ini semua dengan wajar, meski penyambutan yang katanya akan sederhana malah terlihat sangat ramai, hanya kurang grup rebana saja yang tidak ikut meramaikan. Aku mengatakan wajar karena memang gus Nuril adalah salah satu aset kyai Akhyar yang akan meneruskannya nanti. Seseorang yang sedang dipersiapkan sebagai pemegang estafet obor syiar selanjutnya. Pantas jika semua bergembira atas kepulangannya.

ENIGMA [TERBIT] ✔Where stories live. Discover now