BAB 5: Misi Micin

1.1K 175 142
                                    

Bismillahirrahmanirrahim

~.~

"Pandailah dalam berteman, bukan berarti kamu yang harus memilih-milih dalam bergaul. Tapi, pandai dalam seberapa bisa kamu mewarnai temanmu, bukan kamu yang malah terwarnai oleh mereka."

~.~

"Semua sudah siap sama tugas masing-masing, kan?" tanya Meda untuk kesekian kalinya.

Aku mengangguk dengan mantap. "Siap banget! Aku yakin kali ini pasti gak bakal kepergok si Khalik sama ustadz Ahsan lagi. Iya kan, Dypsi?"

"Iya. Dari informasi yang sudah aku dapat, ustadz Ahsan lagi didawuhi kyai Akhyar. Taman juga lagi sepi banget, libur sekolah kaya gini siapa sih yang mau keluyuran di sekitar gedung sekolah gini?"

"Awas ya, kalau nanti aku apes kedua kalinya!"

Culametan-begitu panggilan tercintaku untuk Meda-nampaknya masih kesal dengan kejadian tempo lalu saat aku, Gladys dan Hafshah tinggal kabur sewaktu dia memanjat pohon mangga. Namanya juga sedang kepepet, selagi ada kesempatan buat kabur, ya tidak akan kami sia-siakan. Mungkin memang sudah nasib Meda saja yang harus kembali kangen-kangenan sama kamar mandi.

Hari minggu kali ini, kami pergunakan untuk kembali memulai aksi memetik mangga harum manis yang terletak di taman dekat gedung sekolah. Seminggu yang lalu sebenarnya Gladys sudah menepati janjinya untuk membelikan Meda buah mangga yang akhirnya kami makan bersama-sama, bahkan dibagikan juga kepada ustadzah Windy. Namun, di hari libur sekolah ini ustadzah Windy datang langsung ke kamar kami dan mengajak rujakan bersama. Jadi, mau tidak mau kami yang harus memetik mangganya. Mana mau ustadzah yang satu itu susah payah di bawah terik matahari memetik sendiri mangganya. Ustadzah Windy kali ini benar-benar merepotkan, kenapa tidak minta gus Emil saja yang manjat? Tidak tahu saja beliau kalau sebelum ini kami pernah kepergok ustadz Ahsan memetik mangga. Ya, meskipun yang terkena hukuman hanya Meda saja, sih. Tapi seenggaknya kan kami semua yang ngerasain kelabakannya.

Mau nolak, tapi gak enak ,ah. Ustadzah Windy itu orangnya sangat friendly sekali, bahkan beliau juga kami nobatkan sebagai sesepuh MSG, sama seperti ustadzah Benaz. Meskipun berstatus sebagai istri dari gus Emil, tapi ustadzah Windy selalu bisa membaur dengan kami, tanpa memandang status yang beliau punya.

"Petik mangganya banyak-banyak ya Mbak Culametan."

Meda yang sudah menyingsingkan roknya sehingga memperlihatkan celana trening yang dia gunakan, bersiap memanjat pohon mangga, berhenti sejenak dan langsung menoleh ke arah gus Haidar-putra dari ning Ais-yang memang ikut bersama kami. Gus Haidar datang bersama ustadzah Windy, sebagai keponakan dan kholah-nya itu benar-benar sangat kompak.

"Nggih, Gus."

Setelah mengucapkan itu, Meda membelokkan tatapannya ke arahku. Bibirnya mendumel kesal, aku hanya pura-pura tidak melihat. Pasti Meda sangat kesal ketika gus Haidar memanggil dia seperti itu karena mengikuti panggilanku pada Meda.

Semua sudah berjaga di tempatnya. Bahkan, sekarang Gladys sudah siap dengan teropongnya untuk memastikan jika sekitar kami benar-benar sudah steril dari ustadz Ahsan ataupun asatidz lainnya.

Gus Haidar yang baru berusia lima tahun terus berceloteh, mengingatkan Meda untuk memetik mangga sebanyak-banyaknya.

Mulanya semua berjalan dengan mulus. Aku melakukan tugasku untuk mengarahkan Meda dan memunguti mangga yang sudah dijatuhkan dengan dibantu oleh gus Haidar yang terlihat sangat senang.

Hingga tiba-tiba, petikan jemari Gladys yang bisa kami dengar karena suasana yang hening langsung menarik atensiku dan Meda. Kami menoleh bersama ke arah Gladys yang masih menggunakan teropongnya.

ENIGMA [TERBIT] ✔Where stories live. Discover now