12

32K 6.5K 2.3K
                                    

–––––
〃ABINAYA〃
–––––

Biarkan hari ini dua anak Adam saling berpuas diri
Keresahan mungkin akan menghampiri setelahnya di setiap langkah
Selanjutnya biarkan bentangan jarak yang menjadi saksi bisu kegundahan hati
Semoga rindu yang nantinya menumpuk, bisa segera terobati

–––––

HARI ini adalah hari terakhir Januar menginap di Bandung. Meskipun setengah dari jiwanya seolah-olah sudah menyatu dengan kota kelahiran sang pemilik hati, Januar tidak bisa lalai dengan tugasnya sebagai seorang pemimpin. Ia harus tetap pulang ke Jakarta dan bekerja seperti biasa. Dalam hati Januar terus merutuk kenapa tanggal merah di bulan Juni hanya ada satu?

Setelah membantu membersihkan rumah, Januar kini memanaskan mobilnya yang terparkir apik di depan pagar kayu rumah Jeno. Sesekali ia mengamati anak-anak sekitar rumah yang bermain engklek di pinggir jalan. Di Jakarta, ia nyaris tidak pernah menemukan pemandangan lucu seperti itu.

Selesai memanaskan mobil, Januar kembali ingin masuk ke rumah. Ia bermaksud ingin berkemas agar nanti sore bisa langsung pulang tanpa ada barang yang tertinggal. Tapi sebenarnya jika ada barang yang tertinggal pun tidak masalah, justru Januar akan senang karena bisa kembali bertandang ke Bandung nantinya.

Dari arah samping rumah Jeno muncul dengan setelan hitam, memakai sepatu bot hitam dan topi safari bermotif loreng hijau. Di tangannya ada karung yang dilipat menyatu dengan sabit, juga rancatan (alat pemikul dari bambu). Januar kemudian menghampiri.

"Mas mau kemana?" Tanya Januar.

Jeno mengangkat karung di tangan kanannya. "Saya mau nyari rumput dulu sebentar buat makan kambing. Kamu di-"

"Ikut!" Perkataan Jeno dipotong oleh Januar yang tampak antusias.

"Panas, gak usah ikut. Di sawah penuh lumpur terus di ladang banyak nyamuk. Disini aja ngobrol-ngobrol sama Bapak atau ikut Jauzan. Katanya dia mau-"

"Saya ikut kamu!"

Lagi-lagi ucapan Jeno dipotong, membuat pria itu langsung terdiam. Jeno mengamati Januar dari atas ke bawah, kemudian pada wajahnya yang menampilkan tersenyum lebar. Setelah beberapa saat terdiam membuat pertimbangan, akhirnya Jeno mengangguk. Januar terlalu keras kepala.

"Yaudah boleh. Tapi ganti baju dulu jadi serba panjang, pake sepatu juga sama topi. Nanti disana gak usah bantu-bantu kamu liatin-"

"Oke!"

Tanpa mengindahkan perkataan Jeno yang menurutnya terlalu berlebihan, Januar langsung melesat masuk ke rumah lewat pintu belakang. Meninggalkan Jeno yang kini mematung seperti orang linglung.

"Nyebelin banget Januar Sanjaya."

–––––

Setelah mendapat sedikit omelan dari Jeno, akhirnya Januar ikut mencari rumput dengan pria itu. Ia kini berjalan pelan di belakang Jeno menyusuri sawah menuju ladang yang ada di seberang. Tempatnya tidak terlalu jauh dari rumah, hanya sekitar lima ratus meter ke arah selatan.

"Awas jalannya licin banyak lumpur." Ucap Jeno sambil melirik Januar yang berjalan seperti keong, lambat sekali. Bahkan Januar sudah tertinggal beberapa meter karena Jeno yang berjalan cukup cepat.

"Jalannya jadi berat gara-gara lumpur." Januar menunjuk sepatunya yang sedikit ternggelam di lumpur. Tidak terlalu dalam sebenarnya, hanya beberapa senti.

"Sawahnya kan baru dibajak, jadi jalannya emang begini, hati-hati makannya." Jeno menghentikan langkahnya, ia menunggu hingga Januar berada dekat dengannya.

ABINAYA | NOMINWhere stories live. Discover now