17

27.4K 5.8K 3.2K
                                    

–––––
〃ABINAYA〃
–––––

Diberi rasa itu untuk dinikmati
Tapi terkadang bukan kenikmatan saja yang dirasa setiap insan
Banyak campur rasa lainnya yang menjadi pelengkap kehidupan
Karena jika hanya ada satu rasa pasti bosan
Hambar namanya

–––––

JANUAR memandang horor selembar undangan di atas meja kerjanya. Beberapa saat lalu pria familiar yang sering diceritakan oleh kakaknya datang memberikan sebuah undangan dengan sampul yang sangat cantik.

Undangan pernikahan.

Apa kabar dengan Jefri? Baik-baik saja pria dengan lesung pipi itu di Belanda sana? Januar yang bukan siapa-siapa saja merasa begitu sakit saat hanya memandang undangan itu walau tanpa dibaca isinya.

Dengan tangan yang gemetar Januar membuat panggilan video di ponselnya. Hanya nama Jefri yang terus berputar di kepalanya saat ini. Rasanya Januar ingin menubruk tubuh besar kakaknya itu saat ini juga, memberikan patah kata yang sekiranya bisa membuat lebih baik. Tapi jarak yang membentang membuatnya hanya bisa bersua lewat panggilan jarak jauh.

Januar takut kakaknya itu terpuruk untuk yang kesekian kali.

"Abang!" Januar nyaris berteriak saat melihat wajah Jefri yang memenuhi ponselnya.

"Sakit ternyata...." Ucap Jefri lirih.

Januar terdiam membisu kala melihat mata Jefri yang memerah. Ia memalingkan pandangan sambil menutup mulutnya dengan tangan kiri. Tak sanggup melihat pria paling tegar yang selalu ia banggakan kembali memperlihatkan kelemahannya.

Jefri menangis, tapi bibirnya tersenyum.

"Jangan nangis! Abang udah janji buat bahagia! Abang juga udah janji mau membawa seseorang yang bakal Abang pinang sepulang dari Belanda! Jangan mikirin orang lain!"

Suara Januar sedikit bergetar walaupun nadanya agak membentak.

"Maaf... Janji itu udah gak berlaku."

"Jangan bercanda!"

Terdengar kekehan dari seberang. Jefri mengusap lelehan air di wajahnya kemudian tersenyum lebar. "Orang itu emang udah dipinang, Je. Tapi bukan Abang orangnya."

Tak sanggup, Januar benci melihat seseorang yang sok tegar seperti Jefri. Tapi di sisi lain ia ingin sekali memeluk pria itu dan memuji kelapangan hatinya.

"Lihat Je! Dua bulan sebelum keberangkatan ke Belanda, Abang beli ini buat kembali memperjuangkan dia..."

Jefri memperlihatkan kalung di lehernya yang tergantung sepasang cincin berlian.

"Abang mau nyoba sekali lagi buat memastikan hati dia masih sama atau udah berubah. Tapi hari ini Abang tau jawabannya. Dia bikin penolakan mutlak buat gak kembali sama pengecut."

"Bang Jef–"

Ucapan Januar segera dipotong oleh Jefri. "Tolong kamu sampein sama Papa, selamat beliau menang."

"Gak bisa! Bang Jefri gak mau bicara lagi sama Papa? Sama... Kak Doni?" Januar memelankan suaranya di kata terakhir.

"Gak usah, percuma gak akan ngerubah apapun. Keinginan Abang saat ini cuma satu, berdamai dengan hati."

–––––

Rendi masuk ke ruangan Januar tanpa mengetuknya. Ia berjalan menghampiri atasannya itu yang terlihat melamun. Matanya melihat ke layar komputer, tapi tidak dengan pikirannya yang tampak melayang.

ABINAYA | NOMINWhere stories live. Discover now