a. through the dusk

805 116 260
                                    

Jika bukan karena perjanjian kuno yang terbentuk berpuluh-puluh tahun silam, kiranya Jinan tidak akan pernah tahu bahwa Min Yoongi hidup di dunia, bernapas sebagaimana mestinya.

Lelaki itu berumur dua puluh delapan tahun, memiliki struktur wajah kecil dengan sepasang iris hazel menawan yang menggantung layaknya bulan sabit. Suaranya rendah, nyaris seperti bass. Tubuhnya tidak terlalu tinggi, tidak pula terlalu rendah, barangkali bibirnya cukup menjamah kening Jinan tanpa perlu menunduk terlalu dalam. Jika kalian bertanya relasi macam apakah yang terjalin di antara mereka, maka jawabannya sudah pasti; perjodohan.

Iya, mereka terikat pada benang merah tersebut. Diberi waktu selama beberapa bulan ke depan untuk saling mengenal, menyelami karakter masing-masing agar bisa membangun keharmonisan saat berumah tangga. Namun di sana, termenung dalam suasana kafe tua yang lengang, nyatanya Jinan masih belum menemukan eksistensi dari si Min itu. Ini kencan pertama mereka, sekaligus jumpa pertama mereka. Jujur, Jinan agaknya sedikit menaruh rasa kecewa akan keterlambatan sang calon suami.

Aku sedang di perjalanan menuju kafe; begitu isi pesan yang dikirimkan Yoongi beberapa saat lalu. Jinan menghela napas panjang, melabuhkan punggung sempitnya menuju sandaran kursi kayu yang terasa keras menyentuh tulang-belulang. Kelopaknya terkatup rapat, sedang hidung mungilnya membaui aroma tungku yang berdifusi dengan harum pinus. Ini penghujung musim panas, di mana para lelaki kota akan bertandang sembari menenteng papan selancarnya, unjuk kebolehan dengan dada bidang yang dibiarkan terekspos. Jinan tidak mau naif. Pria-pria itu memang sangat menawan dan menarik.

Lantas, dihadapkan dengan satu fakta yang menampar belah pipinya keras-keras, mau tak mau membuat Jinan membuka mata lebar-lebar. Ia akan menikah, menikah dengan seseorang yang sama sekali tidak dikenalnya. Jinan ingin menolak, tetapi apa daya tatkala Seulhee—ibunya, memberi tatap seolah dia akan mati besok hari. "Mama tidak menuntutmu untuk memberi kami cucu yang menggemaskan, sama sekali tidak. Mama hanya ingin wasiat yang ditinggalkan nenek bolotmu itu terpenuhi." Air wajahnya memelas, menatap putri semata wayangnya dengan pelupuk yang memanas. "Tolong Mama, Ji. Kali ini saja."

Tentu Jinan tidak langsung menerima dengan mudahnya. Ia butuh waktu untuk berpikir, menjernihkan isi kepala yang keruh agar dapat menemui suatu keputusan. Jinan nyaris menolak, sungguh. Tetapi entah mengapa, tatkala Seulhee memberinya satu lembar foto hitam putih yang menampilkan rupa dari Min Yoongi, Jinan sekonyong-konyong memutarbalikkan keadaan. "Iya, aku akan menerima perjodohannya." Akan tetapi sekarang, setelah menunggu hampir satu jam penuh tanpa adanya kepastiaan serta balada pedih yang terus berkumandang, Jinan mendadak menyesali keputusannya. Ia secara tiba-tiba menyadari bahwa ada banyak hal yang belum terlaksana, dan pernikahan ini sudah pasti akan memersulitnya.

Dasar bajingan tengik!

Manakala Jinan bersiap membatalkan pertemuan dengan mengangkat bokong dari atas kursi, pun menyelipkan beberapa lembar uang di dekat vas bunga, seorang pria berkulit putih kemerahan masuk dari arah pintu utama, terlihat kebingungan sembari menyapukan pandangan hingga irisnya bersua dengan milik Jinan. Tungkai jenjangnya kemudian berayun cepat, terkesan tergesa-gesa sembari menyulam senyum kecil.

"Maaf terlambat, mobilku sempat mogok." Yoongi menyugar surai legamnya ke belakang, menilik si gadis dengan tatapan menilai. Dia berkeringat, banyak. Hal tersebut semerta-merta membuat Jinan meneguk air liurnya susah payah. Ah, lelaki ini. Tipikal pria panas yang akan memanjakan kedua matanya secara cuma-cuma. Nyaris menyahut dengan manik yang mengerjap lambat, tahu-tahu saja Yoongi kembali melanjutkan, "Omong-omong, terima kasih telah menungguku. Kau terlihat cantik, sama seperti apa yang nenekku katakan."

A Home Without Wallsजहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें