f. equlibrium, exit wounds

409 64 115
                                    

[sensitive content]

•••

Apa benar rasa takut itu memiliki bentuk? Jika iya, mungkinkah bentuknya bundar seperti bola dunia yang kerap terpajang di ruang laboratorium? Atau malah bentuknya tak lebih dari sekadar pola abstrak yang tidak terdefinisi? Well, pertanyaan semacam itu sering kali menghantam kepala, menelusuk hingga sebabkan luapan emosi membajiri sekitaran kaki. Dalam waktu yang berdetik malas, Taehyung mengendurkan bebatan selimut di tubuh lantas bangkit berdiri usai mendengar siulan merdu dari lantai bawah.

Dia kembali?

Taehyung tidak begitu yakin mengenai apa yang akan diperbuatnya nanti, namun selaras dengan tungkai yang berayun pelan menuruni undakan tangga pun dia tahu bahwa sosok tersebut benar-benar hadir, bersembunyi di balik pintu yang tersingkap menyisakan celah. Ia berjalan jinjit selayaknya bocah nakal yang gemar mencuri apel ranum di kebun milik orang lain. Segala macam usaha dikerahkan agar mampu meminimalisir suara yang ditimbulkan—termasuk menahan embus napasnya sendiri. Taehyung tidak ingin mengambil risiko, apalagi sampai membuat dua orang dewasa penuh kalimat diktator itu terbangun dan memecut tubuhnya keras.

Seluruh penjuru rumah tampak gelap akibat lampu penerangan yang melekat di langit-langit plafon telah dimatikan. Taehyung melirik ke belakang untuk yang terakhir kali, harap-harap cemas tak menemukan hantu berkepala singa yang akan memakannya hidup-hidup. Padahal dia tidak pernah seperti ini—maksudnya, takut terhadap sesuatu yang tak kasat mata. Tetapi badai lebat di luar sana kiranya cukup membuat remaja itu gemetaran dengan bulu kaki yang seakan luruh bersama desau angin malam.

Park Jimin sialan! Gara-gara si tengil itu Taehyung mendadak ingin pipis di celana.

Opsi untuk berbalik lalu berlari terbirit menuju kamar mandi tentu bukanlah pilihan yang tepat. Ada seseorang yang tengah menunggu, duduk termangu tanpa tahu kepastian yang akan datang menuju. Taehyung tidak ingin membuat seseorang tersebut kecewa, apalagi terluka. Lantas dengan satu tarikan napas yang terkesan amat sangat terpaksa, si bungsu mendaratkan telapak tangan pada tuas pintu berlapis perunggu, menyembulkan kepala pun mengedarkan pandangan pada sudut kamar yang disiram banyak kegelapan.

"Apa Kak Seokjin yakin mereka tidak akan mengetahui hal ini?" Jantungnya berdentum keras, pacu motorik otak untuk memompa darah lebih cepat guna dialirkan ke seluruh sistem tubuh. Taehyung meneguk getir dari salivanya, duduk di pinggiran ranjang dengan spasi yang membentang lebar. Masih ada segenap rasa takut yang berkelindan, memaksa pemuda tersebut agar tetap menjaga sikap. "Terakhir kali aku bertemu Kakak, Ayah dan Ibu marah besar. Dia bahkan sampai nekat menyekolahkanmu ke luar kota dan mengurungku di rumah selama tiga bulan penuh."

Penat yang didapat akibat duduk di kursi kereta selama hampir tiga jam terasa lindap begitu saja kala mendapati orang terkasihnya mencemaskannya secara tidak langsung. Seokjin tertawa lembut, menepuk pelan sisi ranjang yang kosong pun dingin karena sudah lama tidak diberi sentuhan hangat. "Tidak apa-apa. Asal kau mampu menahan suara, maka mereka tidak akan mengetahuinya." Seokjin tidak bisa menebak apa yang sedang adiknya itu pikirkan, tetapi satu hal yang dapat ia pastikan saat ini adalah; Taehyung menginginkannya, teramat sangat. "Sini, kemari. Aku ingin memelukmu."

Taehyung mendongak, menatap dalam pada sepasang manik seteduh naungan senja, melepas kekhawatiran tentang sang ayah yang barangkali akan menambah corak baru dengan pecut sabuk kulitnya. Ia menggeser bokong perlahan, mendekat menuju bentangan lengan kokoh milik Seokjin yang kemudian disambut oleh satu rengkuhan penuh kerinduan. Taehyung nyaris terisak, tenggelam bersama rintik air yang mengetuk jendela serta gemerisik daun yang berdansa.

A Home Without WallsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang