d. for the first time

483 76 140
                                    

Kata Mama di suatu pagi yang diselimuti mendung pula riuhnya nyanyian kidung, ada beberapa hal di dunia ini yang tidak memiliki arti; hanya sebatas pajangan belaka agar manusia tidak merasa sepi, pun pelipur lara di tengah hati yang sunyi.

Jinan memiringkan kepala, menatap bingung pada sepasang manik yang pancarkan duka. Ia tidak tahu mengenai apa yang sedang terjadi, tetapi pintalan obrolan yang terjalin tepat satu jam lalu, cukup membuat gadis kecil itu menyadari bahwa kedua orang tuanya tidak dalam keadaan baik-baik saja.

Ayah terlihat murka, wajahnya memerah dengan aroma aneh yang menyeruak di bawah embus napas beratnya. Mama berteriak, menepis benda-benda yang ditemuinya dalam satu sentakan kasar. "Kau gila, Daeshim!" Honorifiknya naik, Seulhee berang bukan main. "Sampai kapan pun, aku tidak akan sudi menyerahkan buah hatiku pada bajingan tak berotak sepertimu!"

Tepat di sela pintu, Jinan menyaksikan kedua orang tuanya terlibat pertikaian hebat. Ia berdiri di sana; mematung, menangis tanpa suara dan tak mengindahkan kebas yang mendera. Jinan berusaha menulikan telinga, menyumpalnya dengan telunjuk lantas bergelung dalam selimut. Hawa panas mengukung tubuh mungilnya. Kemudian, satu hal yang Jinan tangkap sebelum dirinya jatuh lelap akibat rasa lelah yang luar biasa adalah; perceraian.

Hingga detik ini, Jinan masih belum mengetahui pasti apa yang menjadi penyebab pertengkaran tersebut bisa terjadi.

Gadis Kim itu mendesah berat, membuang napas panjang kala menemukan jam digital yang bertengger di atas nakas telah menunjukkan pukul tujuh pagi. Tadi malam Jinan tidak bisa tidur dengan nyenyak, kepalanya seperti dijajah oleh ingatan di mana dirinya menikmati cumbuan yang terjadi tepat sepekan lalu. Tidak, tidak. Jinan jelas takkan menyalahkan Taehyung secara sepihak, sebab bagaimanapun, Jinan tetap terlibat.

Kepalanya bergerak beberapa kali, menggeleng pelan dengan maksud membenahi pikiran yang carut-marut tak keruan, sedang satu tangannya menyingkap tirai bermotif polkadot di kusen jendela. Sekilas, Jinan menyapu penglihatan pada sudut kamarnya yang tampak seperti dilanda badai hebat selama semalaman penuh. Ada secuil keinginan untuk bangkit dan mulai membenahi, namun, kantuk yang bergelantungan di kedua kelopaknya, semerta-merta buat Jinan kembali memejamkan mata-bersiap tidur dan menyambung rajutan mimpi indah.

Akan tetapi, niat tersebut sekonyong-konyong musnah tatkala daun pintu berderit, pertanda akan adanya eksistensi baru yang menyelinap masuk.

"Pantas saja Mama mencium bau busuk dari lantai bawah, ternyata itu berasal dari tubuhmu yang belum mandi." Tepat di ambang pintu, Seulhee berkacak pinggang, terlihat rapi dengan balutan gaun yang menjumpai mata kaki. Dia menahan napas sesaat, berusaha untuk tidak memuntahkan kalimat-kalimat penuh amarah pada sosok gadis yang sibuk melakukan aksi bermalas-malasan di atas kasur. "Sebentar lagi Mama akan pergi. Jadi, tolong bantu Mama membeli bahan makanan di supermarket. Juga, jangan lupa untuk membereskan kamarmu yang sudah seperti kandang ayam."

Jinan mencebik. "Kenapa Mama hobi sekali menggangguku, sih?"

Seulhee menggeleng tak habis pikir. "Kau akan segera menikah, Jinan. Setidaknya perbaikilah sikap jelekmu itu sedikit demi sedikit. Jangan hanya bermalas-malasan seperti anak kambing."

Mengendurkan bebatan selimut di tubuh, Jinan balas berkata, "Kalau aku anak kambing, berarti Mama induk kambingnya dong?"

Astaga. Tahan, Seul. Ini anak gadismu.

Percayalah, rasanya Seulhee ingin sekali menjejalkan sayuran busuk ke dalam mulut sang buah hati, semata-mata agar Jinan jera dan berhenti meledeknya.

A Home Without WallsWhere stories live. Discover now