i. splintered

270 25 8
                                    

Sejumlah torehan langkah yang berayun lamban itu dihasilkan oleh betis Yoongi yang kini terarah menuju bilik kamar mandi. Satu dari sekian kemungkinan yang tertimbun di dalam benak mulai mencari celah untuk memenangkan diri, dan kiranya ini adalah kali kedelapan ia menatap hampa pada jemari tangannya yang berlumuran darah segar. Sekumpulan awan di balik atap plafon barangkali tengah menahan tawa akibat kecerobohannya yang secara sengaja menghantam buku-buku jari ke arah dinding, secara bertubi, tanpa ada kata ampunan. Namun, bukankah hal tersebut tepat untuk melampiaskan atas pertentangan yang dilayangkan Elijah tadi pagi?

Penghujung musim panas tidak pernah mendapat predikat buruk, tetapi untuk kali ini, di tahun kesekian ia menelan sulur pahit kehidupan, Yoongi merasa bahwa musim panas yang bertandang bagaikan toksin yang mengendap di dalam tubuh seorang pecandu, tidak hanya menyerang melalui permukaan kulit, tetapi juga merusak hingga ke ujung belulang.

Menjatuhkan satu lembar terakhir serat kain yang terpasang di tubuh, pemuda tersebut mematri obsidian hazelnya pada permukaan cermin, menatap lekat lekuk tubuh kurusnya yang dibalur memar kebiruan. Ia masih mengingat jelas bagaimana pecut cambuk Elijah mencumbu punggung, membelai dari tengkuk hingga menuju tulang ekor. Satu hal yang terlintas—perih, tetapi Yoongi jelas paham bahwa rasa tersebut tak sepadan dengan apa yang neneknya itu pendam.

Seraut api murka terbias di bawah cahaya lampu yang temaram. Elijah menggeram di sela pecutannya terhadap punggung sang cucu. "Mau ditaruh dimana wajahku, Yoong? Keputusannmu benar-benar gila! Nenek tidak pernah mengajarimu untuk menjadi pembangkang yang kurang ajar, 'kan?"

Kendati sekujur tubuhnya mati rasa, Yoongi hanya bergeming. Ia menyaksikan fajar yang sebentar lagi terbit dari arah timur yang menelusup masuk dari bulatan jendela dapur. Pendengarannya telah terkunci rapat, bahkan tatkala Elijah menyuruhnya bangkit dan balik memecut telapak tangannya yang terbuka, ia tak lagi bisa menerima suara manapun selain denging yang bising. "Ini peringatan terakhir, jika kau masih bersikeras dengan keputusannmu, maka Nenek tidak akan bersusah payah menutup omongan para tetangga. Silahkan tanggung sendiri akibat dari perbuatanmu itu."

Hempasan gayung terakhir berdebum di permukaan lantai, kucuran air jernih yang bercampur aroma jeruk tersebut membasuh tubuh Yoongi yang penuh luka, luruh menuju saluran pembuangan yang terkadang mampet akibat sumbatan helai rambut.

Sepucuk pesan yang diterimanya di dalam ponsel kemarin malam, membuat Yoongi lekas menggapai handuk, melilitkannya di pinggang sembari kedua tungkainya yang beranjak pergi. Sepasang pakaian kasual ia tarik dari dalam lemari, memakainya dengan tergesa sebelum berakhir menilik jam kayu yang tergantung di dinding.

Jam sepuluh kurang lima, batinnya. Hal tersebut memungkinkan Yoongi untuk sejenak mengambil napas, segulung masalah suram bertandang tak tahu malu di dalam tempurung kepala, mungkin mereka berniat untuk mengacau hari-hari yang Yoongi miliki, entahlah, pemuda itu pun juga tidak mengerti.

Setelah memastikan semuanya dalam keadaan aman, Yoongi menarik tuas pintu dan mengeluarkan sepeda usang yang telah ia cat ulang dari dalam garasi, warna orange, mencolok seperti benderang matahari yang berdiri setinggi tombak. Ia menggiring sepeda tersebut, merasakan stangnya agak sulit dikendalikan dengan rantai yang terkadang macet karena jarang diberi minyak. Eksistensi dari Elijah yang berdiri beberapa langkah di belakang tak begitu memiliki arti walau wanita tersebut tengah memuntahkan sebuah kalimat, kendati demikian, langkah Yoongi tetap tertahan di satu titik.

"Pulanglah sebelum petang, dan ingat, jangan sampai terlambat. Nenek akan mengundang salah seorang kerabat jauh untuk diajak makan malam bersama."

Yoongi masih bungkam, diam seribu bahasa, ia tidak berniat untuk sekadar menoleh ataupun menyahut. Melihat hal tersebut, Elijah berusaha untuk memaklumi, ia paham bahwa sang cucu telah tumbuh besar, keputusan semacam itu seharusnya bisa ia timbang dan takar dengan baik, sebab dalam hal ini, bukan hanya reputasi keluarga yang menjadi taruhan, melainkan diri Yoongi sendiri. Namun sial, sekeras apa pun Elijah menyuarakan haknya, tampaknya Yoongi masih kokoh dengan pendiriannya. Oleh sebab itu, ia hanya bisa menyemburkan napas gusar, beralih mengambil dompet dan mengambil dua lembar uang.

A Home Without WallsWhere stories live. Discover now