b. fall for anything

578 96 200
                                    

Tolak ukur kecantikan seorang wanita menurut Min Yoongi tidak harus selalu berpusat pada hal-hal seperti wajah mulus tanpa jerawat, kulit putih bersih, dan helai rambut yang lebat. Bagi lelaki Min itu, kecantikan bisa berasal dari berbagai macam aspek. Bisa dari tingkah lakunya, tutur bahasanya, bahkan cara memandangnya kepada seseorang.

Beberapa tahun yang lalu, Yoongi pernah memiliki seorang kekasih-well, sebenarnya ia juga ragu apakah itu bisa disebut kekasih atau bukan, sebab Yoongi tidak pernah mencintainya. Berlandaskan rasa kasihan sekaligus keinginan untuk mencicipi sesuatu yang berbeda, pun ia menerima. Sosok tersebut memiliki perangai yang manis, agak manja dan sedikit penuntut. Namun, setelah hampir empat tahun menjalin kasih, Yoongi sadar bahwa selama ini ia dimanipulasi.

Sosok itu mengincar sesuatu terhadap dirinya.

Tanpa berpikir dua kali, Yoongi mengakhiri hubungan tersebut, tak menghiraukan raungan penuh kesakitan yang menggema melalui panggilan telepon. Mantan kekasihnya itu begitu nekat, berani menjejakkan kaki di pekarangan rumah lantas bersujud layaknya pengemis. Akan tetapi tetap, Yoongi sama sekali tidak peduli, hatinya telah mati atau mungkin tak berfungsi lagi. Yoongi berlalu dari sana, bergelung dalam selimut sementara sosok tersebut nyaris mati kedinginan akibat badai yang bersambut.

Menatap lekat sosok yang berjalan bersisian dengannya, Yoongi mengeratkan genggaman. "Sakitnya benar-benar parah, ya?" Dia bertanya dengan nada kelewat cemas, memerhatikan detail wajah Jinan yang telah berubah sepucat lembar kertas. Gadis tersebut mengernyit, lantas mengangguk sembari menahan nyeri yang melanda perut. Yoongi kian memercepat langkah, menuntun Jinan yang berjalan tertatih. "Mau kugendong atau bagaimana? Kamar kita ada di lantai dua."

Jinan menggeleng lemah. "Tidak usah, Yoong. Aku jalan saja."

Tampak ada sirat ketidaksetujuan di sana. Yoongi menghela napas pendek, memilih untuk menurut sembari menarik koper berukuran kecil di salah satu tangan yang bebas. Sesaat, Yoongi mengunci rapat mulutnya-tidak ingin berceloteh sebab ia tahu benar bahwa semua ini adalah kesalahannya; mutlak. Jika saja dirinya tidak memaksa Jinan untuk pergi ke puncak bukit guna melihat lautan bintang yang gemerlap, barangkali gadis itu akan baik-baik saja.

Harum citrus menyeruak tatkala pintu kayu berpoles pelitur itu tersingkap, menampilkan fasilitas sederhana yang terkesan nyaman untuk dipakai selama satu malam. Yoongi menempatkan Jinan di tepi ranjang, membantunya melepas sepatu dan kaos kaki merah jambu yang membungkus kedua kaki mungilnya. Meski lelah menggelayut tubuh, Yoongi tetap menerbitkan seulas senyum, memberi pijatan lembut di bagian tumit si gadis sebagai permohonan maaf atas kecerobohannya.

"Astaga, jangan berlebihan, Yoong." Jinan tertawa lirih, memandang sayu figur lelaki yang tengah berkutat dengan betisnya. "Aku hanya kram perut, dan itu hal yang wajar jika tamu bulananku datang."

Jatuh terduduk dengan tangan sebagai penyangga, Yoongi menghela napas panjang, coba meluruhkan penat setelah seharian mengemudi dalam jarak tempuh yang cukup jauh. "Aku benar-benar khawatir, Ji. Aku tidak pernah melihat hal seperti ini sebelumnya." Iris hazelnya berdenyar gelisah, seolah memberitahu Jinan bahwa ia panik setengah mati. "Jujur, kau terlihat seperti orang yang sekarat."

Ah, benarkah? Tapi, nyeri yang datang saat hari pertama menstruasi memang semengerikan itu. Bahkan Jinan pernah mendengar bahwa ada seorang wanita yang harus dilarikan ke rumah sakit setelah pingsan akibat kekurangan banyak darah. Sebelum berujar penuh keyakinan, Jinan menyempatkan diri untuk menepuk pelan bahu Yoongi.

A Home Without WallsWhere stories live. Discover now