22. Gesture Ragu

933 214 29
                                    

Wanda mengerjapkan matanya yang berat. Sepertinya dia sudah tertidur sangat lama. Sehingga sekarang dia tidak bisa menggerakkan tubuh bagian bawahnya. Jemarinya terasa kaku. Meskipun dia menyadari kalau seseorang sedang menggenggam jemarinya.

"Neng udah bangun?" suara yang terdengar familiar itu benar-benar membuatnya sadar. Mama di sampingnya sambil mengusap air matanya yang jatuh.

"Alhamudillah, neng udah sadar. Neng mau minum? Papa barusan keluar beli makan dulu, Neng lapar apa? Mama pesenin bubur atuh ya? Eh mama panggil dokter dulu atuh," Mama di hadapannya pergi untuk menelepon seseorang di ujung ruangan. Tidak lama, seorang dokter denga senyuman yang lebar masuk.

Wanda tidak bisa mengatakan apa-apa. Ini masih terasa baru baginya sehingga dia perlu mencerna. Apa yang terjadi, apa yang terlah terjadi dengannya. Kenapa Mama ada di sampingnya yang sedang berbaring. Dia berusaha mengingatapa yang terjadi terakhir kalinya. Lalu bayangan dia yang kembali dari masa depan. Bayangan Mark. Bersatu padu.

Wanda lupa. Lupa kalau di masa depan dia pernah merasa kehilangan. Bukan Mark saja. Tapi kasih sayang dan sentuhan Mamanya. Sesaat setelah dokter sudah memeriksa vitalitas dirinya, Mama kembali. Menautkan jemari. Tersenyum lembut.

Lalu beberapa saat kemudian, jemari yang hampir terlepas dari tautannya itu ditarik, agar tubuhnya tidak pergi kemanapun. Wanda menangis, saat dia sadar, kalau di masa depan tidak akan ada lagi perhatian dari Mama yang kini ada di sampingnya.

"Mama.." Wanda menangis. Bukan karena bagian pinggulnya yang terasa sakit. Tapi karena dia sangat fokus pada Charis belakangan ini. Melupakan hal yang seharusnya dia perhatikan lebih dulu. Orang yang mungkin akan meninggalkannya. Dan tidak bisa dia temui di masa depan.

"Neng sakit ya pinggulnya? Sabar ya, nanti juga nggak sakit. Sekarang aja sakitnya. Nanti nggak kok."

Wanda semakin menangis. Saat kepalanya disandarkan pada bahu Mama. Dia mencium bau Mama yang sangat khas tidak wangi. Tapi Wanda menyukainya. Sangat menyukainya. Bau yang selalu membawanya ke masa lalu. Bau yang selalu membuatnya bahagia.

Mama mengusap punggung Wanda. Gadis itu terus meletakkannya di sana. Tidak mau menjauh. Wanda hanya ingin berada di dalam pelukan Mama. Menghabiskan tiap detiknya hingga habis. Tidak mau yang lain. Mama saja.

"Neng, ini Mama mau ke kamar mandi. Atuh lepas dulu mama mau pipis."

Wanda mendengakkan wajahnya. Kemudian menatap mata sang Mama yang kembali mengeluarkan senyumannya. "Jangan jatoh. Ke kamar mandinya pake sendal yang kesed. Biar nggak kepeleset."

Mama tertawa kecil, "Iya neng, kamu nih kayak gitu aja dijelasin. Udah atuh ih, mama nggak tahan ini."

Wanda mengerutkan bibirnya, kesal dengan tanggapan sang Mama yang sepertinya tidak peka dengan keinginannya. Bahwa dia tidak ingin berada jauh dari sang Mama. Kalau ada Papa, mungkin Wanda bisa mengatasi kesedihannya sekarang.

Mama menghilang di balik pintu kamar mandi. Tidak tahu kenapa, waktu begitu terasa sangat lama. Padahal, satu menit pun belum berlalu. Tapi dia sudah merasa khawatir.

"Maaaaa, di kamar mandi ngapain sih? Kok nggak ada suaranya?" Wanda memanggil khawatir. Matanya tidak teralih kemanapun. Hanya kepada pintu kamar mandi.

Bukan pintu kamar mandi yang lebih dulu terbuka. Melainkan pintu masuk. Papa dengan sepelasti besar snack muncul dan menatapnya terkejut. "Eh si neng udah bangun. Mama kemana?"

"Pa lihat kamar mandi dong, Mama nggak nyahut masa aku panggiling. Takut kenapa-kenapa?"

"Naon sih neng. Kamumah suka ngada-ngada ini Mama nggak apa-apa, sok aneh," mama keluar dari dalam kamar mandi sambil merapikan baju yang mungkin tergulung saat menyelesaikan pekerjaannya.

Sebuah Cerita Dari Masa Depan ✔Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt