42. The Last Might Never Be Ending

804 177 37
                                    

Wanda terbangun tiba-tiba dari tidurnya. Dia meraba permukaan kasur di sebelahnya. Kemudian, melihat tanggal berapa hari ini di kalender. Kemudian dia menangis sejadi-jadinya. Untuk rasa kehilangan yang sudah terjadi pada saat itu.

Selama tiga tahun ini, Wanda beranggapan bahwa di masa depan dia masih punya kesempatan untuk bertemu dengan Seulgi dan orang tuanya. Tapi tidak pernah terjadi. Dia bahkan tidak menemukan bayangan Seulgi di dalam rumahnya.

Kehilangan itu sangat terasa nyata. Dia merasakan perasaan sesak ketika menyadari bahwa apa yang terjadi di masa depan akan menjadi misteri lagi. Informasi yang dia dapatkan yang terjadi di masa depan akan berakhir.

Tapi sekali lagi, hidup harus berlangsung. Setelah tiga tahun akhirnya dia menyadari bahwa kisah akhirnya sudah selesai. Dan kini Wanda hanya perlu meneruskan hidupnya. Melalui apapun yang saat ini masih menjadi misteri.

Wanda yang sedang duduk di hadapan cermin berusaha tersenyum. Untuk memperbaiki moodnya dan juga berusaha menguatkan hatinya. Bahwa dia masih punya hari yang tersisa. Hari-hari bahagia lainnya.

Lalu dia mencari ponselnya. Yang dia ingat, dirinya di masa lalu meletakkan ponsel itu di dalam ruang rahasia. Sehingga dirinya memutuskan untuk menuruni tangga dan berjalan ke arahnya. Sambil mengingat apa saja yang terjadi tiga tahun lalu. Saat dirinya berhasil datang di masa depan dengan keadaan yang mengejutkannya.

Ruangan itu tidak berubah dari tiga tahun yang lalu. Meskipun dirinya sering sekali ada di sini. Tapi rasanya selalu seperti tiga tahun lalu. Terkejut dan merasa lucu. Soal dirinya yang kaget karena melihat ruang rahasia yang sudah sesak diisi oleh barang milik Mark.

Ah soal Mark.

Wanda juga jadi merasa bersalah, karena penyebab Mark selingkuh adalah dirinya. Karena itu sekarang, saat dirinya sedang menggenggam ponselnya, dia duduk di tengah ruang rahasia sambil mencari nomor ponsel milik Mark.

Nada sambungnya berbunyi. Wanda mengulum senyum, tepat saat dirinya mendengar suara Mark.

"Halo, Mark, ini Wanda."

Henin. Suara bising yang didengar melalui sambungan ponsel sampai suara Mark mulai terdengar jelas. "Maaf ulangin bisa? Lagi di kelab soalnya."

Wanda tertawa kecil, lalu berusahaa rileks untuk menenangkan dirinya. "Kamu masih suka main di kelab? Masih nggak kapok ya?"

Wanda yakin kalau sekarang, Mark sedang menautkan alisnya. Melihat siapa yang menghubunginya dan heran siapa yang ada di balik nomor baru ini. Jadi Wanda kembali meneruskan kalimatnya.

"Mark ini Wanda," kata Wanda lagi berusaha menyampaikan informasi yang sangat penting ini.

"Oh my. Ini gue nggak kobam deh, tapi kok bisa berhalusinasi ditelepon Wanda ya?" Mark bicara sendiri. Suara itu berhasil membuat Wanda tertawa lagi. "Ya pokoknya terserah sih, mau Wanda beneran mau bohongan. Ada apa? Kenapa hubungin gue?"

Wanda melihat jam di nakas ruang rahasia, "Mark, kebiasaan ngelabnya dikurangin dong. Masa jam segini udah ngelab aja."

"Anjir, siapasih ini woy. Kenapa deh mirip banget Wanda. Sok banget perhatian sama gue."

"Ya emang Wanda, Mark. Nggak percaya banget."

"Ya jelas nggak percaya. Dulu gue nelepon aja boro-boro diterima, kayaknya langsung diblokir sama doi. Jadi nggak mungkin banget nelepon gue subuh subuh gini."

Wanda mendengus. Tapi dirinya merasa tidak perlu mempermasalahkannya. Toh tujuannya mneghubungi Mark dengan satu niatan. "Yaudah, terserah, tapi intinya Mark. Soal tiga tahun ini. I am really sorry. Aku tahu kalau aku yang salah. Nuduh kamu duluan."

Sebuah Cerita Dari Masa Depan ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang