43. Pagi Yang Buruk

767 143 28
                                    

Wanda masih bergelung selimut ketika dirinya mendengar jika bel pintu depan berbunyi. Dia menyeka rambutnya yang jatuh lalu mengedipkan matanya. Di hadapanyanya wajah terlelap Charis berhasil dia lihat. Untuk sebentar dia lupa bahwa ada seseorang yang menunggunya di depan rumah.

Ketika bel kembali berbunyi. Barulah Wanda bangkit dan menggunakan kimononya untuk menutpi tubuhnya yang hanya mengenakan baju tidur sutra yang tipis. Yang dapat memperlihatkan lekuk tubuhnya. Sambil mengikuat rambut, Wanda menekan tombol interkom. "Sebentar ya, saya lagi siap-siap."

"Siap cantik," balas suara itu.

Wanda menautkan alisnya. Ketika dia tidak melihat siapapun dari kamera CCTV. Seolah orang itu tahu bahwa dirinya bisa terekam dari salah satu sudut melalui CCTV. Dan dari sana Wanda yakin kalau orang tersebut merupakan seseorang yang sudah mengetahui seluk beluk rumah ini. Jadi Wanda membukanya tanpa ragu.

Pekarangan rumah Wanda yang luas memang membuatnya membutuhkan waktu cukup lama untuk tiba di depan gerbang rumah. Sementara sepanjang akhir minggu, dirinya dan Charis sepakat untuk tidak memperkejakan siapapun. Jadi mereka bisa fokus terhadap aktivitas berdua saja. Tanpa melibatkan siapapun.

Setelah satu minggu berlalu, kehidupan mereka kembali. Charis masih sedikit terkejut bahwa mesin waktu itu ternyata eksis. Bertemu dengan Seulgi yang merupakan sosok yang sudah meninggal di awal tahun ini. Charis kadang masih sulit membedakan bahwa itu adalah kenyataan. Bukan mimpi.

Wanda tiba di depan gerbang. Lalu menekan tombol buka otomatis yang diletakkan di dalam pos satpam. Lalu tidak lama mobil mewah bewarna biru metalik memasuki pekarangan tersebut. Lalu melaju hingga lahan parkir luar. Yang sengaja dibuat untuk tamu yang mungkin datang ke rumah mereka.

Dari mobilnya saja, Wanda tahu siapa sosok yang mengganggu paginya. Dua hari terakhir, dia sering sekali mengunjungi rumah ini. Hanya untuk memastikan bahwa, Wanda sudah benar-benar kembali ke dimensinya. Sementara Wanda jadi curiga, jika Dimas sudah sesering ini berkunjung ke rumahnya. Pasti ada yang sedang direncanakan bos agensinya itu.

"Numpang sarapan ya gue. Laper banget abis lembur."

Wanda membolakan matanya saat mendengar kalimat pertama yang keluar dari mulut Dimas. Sambil menekan tombol untuk kembali menutup pagar. Lalu berjalan ke arah Dimas yang sudah menunggunya di teras rumah. Seperti dirinyalah yang memiliki rumah tersebu. Membuat Wanda setengah kesal melangkah sambil menghentakkan kakinya.

"Mas Dimas kayaknya sekarang sering banget deh sekarang kesini. Kayak nggak punya rumah," Wanda mendengus sambil membuka pintu dan mempersilakan Dimas masuk dan segera menyusuri ruang demi ruang hingga masuk ke dalam dapur tersebut.

"Gue kan dateng mau memberikan kabar gembira."

"Kabar gembira apaan? Perasaan tiap hari cuma minta makan doang."

"Kabar gembira kalau makanan lo enak," Dimas tanpa merasa bersalah unuk mengatakannya.

Wanda bukannya terhibur tentu merasa lebih kesal dibandingkan dengan biasanya. Kemudian, menyerahkan secangkir kopi pahit yang biasanya selalu dipesan Dimas. Duduk di hadapannya sambil menunggu roti selesai dipanggang. Melihat gelagat yang diekeluarkan oleh Dimas. Berusaha menelisik apakah dirinya menyimpan sesuatu yang sulit disampaikan.

"Apa sih lo liat gue gitu amat Nda," Dimas memcingkan mata membalas tatapan Wanda.

"Mas Dimas pasti ada maksud lain deh datang ke sini," selidik Wanda.

Dimas seperti sia-sia untuk menyembunyikan ini semua. Sebab tujuannya memang bukan hanya meminta sarapan atau makan siang dan malam kepada Wanda. Melainkan suatu yang lain. Yang mungkin akan mengubah masa lalu dan masa depan secara bersamaan. Atau mungkin salah satunya saja. Agar paling tidak ada yang berubah menjadi lebih baik.

Sebuah Cerita Dari Masa Depan ✔Nơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ