Bab 6-Kenangan

312 53 72
                                    

بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

"Abi, Ila mau belajal solat," ujar gadis kecil berusia tiga tahun tersebut.

Giginya yang ompong membuat gadis itu terlihat menggemaskan, belum lagi kerjapan matanya yang dinaungi oleh bulu mata lentik serta alis yang lumayan tebal. Dan jangan lupakan juga tubuh mungilnya yang kini sudah dihiasi oleh mukena kebesaran milik sang bunda, sungguh gadis kecil yang manis.

"Pake mukena Ila dulu, jangan mukena Bunda," tegur sang ibu dengan lembut dan berusaha untuk memposisikan tubuh putrinya ke dalam pangkuan.

Gadis itu menggeleng. Kedua matanya melotot, seakan memperingatkan bahwa mukena ini sudah menjadi miliknya.  "Ndak au, aunya unya Bunda!"

"Ya udah, Ila berdiri di atas sajadah," titah sang ayah yang lebih memilih untuk tidak mendebat sang putri.

"Udah, Bi, telus?"

"Baca niat salat subuh." Sang ayah berusaha menahan kedua tangannya agar tidak bergerak untuk mencubit kedua pipi gembul anaknya.

"Ila, ndak au, Bi!" tolaknya dengan tangan bersidekap dan juga pipi yang sengaja dikembungkan. Ayah dari gadis itu terkekeh dan segera membawa tubuh putrinya ke dalam pangkuan.

Kegiatan salat baru saja ia laksanakan lima menit yang lalu, sedari tadi putri kecilnya itu hanya duduk dan diam menyaksikan. Namun pada saat kegiatannya telah usai dilakukan, sang putri malah berulah dan heboh mengenakan mukena milik sang bunda.

"Coba ikutin Abi ...," pintanya dengan pelan membacakan niat salat yang terdengar tersengal-senggal, agar Ila bisa mengikuti apa yang baru saja diutarakan.

"Usholli ...."

Bocah mungil itu malah diam dan menatap bingung sang ayah. Bola matanya yang bulat menyorotkan tanya dan beberapa kali mengerjap lucu.

"Usholli ...," ulangnya dengan senyum merekah dan tangan membelai lembut puncak kepala sang putri.

"Aus ... oli?"

Ayah dan ibunya terkekeh saat mendengar suara pelan nan cadel milik sang putri, dengan penuh kegemasan ayahnya pun mencubit pipi gembul milik gadis mungil bernama Ila tersebut.

"Fardlon Shubhi ...," lanjutnya yang malah disambut helaan napas panjang oleh Ila.

"Kepanjangan Abi," protes Ila mencebik kesal.

Sang ayah mengulum senyumnya dan malah kembali melanjutkan bacaan niat salat tersebut secara keseluruhan. "Rok’ataini Mustaqbilal Qiblati Adaa-an Lillahi ta’aala."

Bocah mungil yang baru berusia tiga tahun itu langsung bangkit dari pangkuan sang ayah dan memilih untuk masuk ke dalam pangkuan sang bunda.

"Abi nakal, Bunda," adunya dengan tangan saling bergelayut di leher sang bunda.

Dengan penuh rasa gemas bundanya merengkuh tubuh sang putri kecil yang tengah merajuk lucu.

Sungguh bayangan akan masa kecil yang sangat sayang untuk dilewatkan, Ashilla tersenyum kecut saat kenangan itu hadir tanpa diminta memenuhi isi kepala. Ia merindukan mendiang sang ibu, walaupun kini sudah ada ibu sambung yang merangkap menggantikan sang bunda. Tapi hal itu sama sekali tak membuatnya bisa lupa akan sosok sang bunda tercinta.

Namun, ada satu yang tidak diketahui Ashilla; ada seseorang dengan wajah sama persis dengan dirinya yang terdiam menyaksikan hal tersebut. Dia yang sudah bisa melaksanakan salat malah tampak diacuhkan, sedangkan Ashilla malah diberi perlakuan hangat. Rasa iri itu sedikit menyembul ke permukaan, ia pun ingin merasakan berada di posisi Ashilla.

Klandestin || ENDWhere stories live. Discover now