Chapter 5

2.7K 386 3
                                    

Sang cakrawala bergemuruh disertai rintik-rintik air membasahi bumi membuat sang mentari pun harus bersembunyi di puncak sana. Mungkin tak sedikit orang yang mengeluhkan rencana mereka untuk keluar rumah kendati hanya mencari udara segar di petang hari. Begitu pun gadis bermanik cokelat itu menyorot ke luar sana sembari memegang secangkir cokelat hangat. Dengkusan kesal selalu terdengar, kecewa akan langit yang tak bisa berkompromi dengan dirinya. Bukannya ia membenci hujan, justru ia suka sebab mana mungkin ia membenci hujan yang secara tidak langsung ia tengah membenci Tuhan yang memberkati hujan itu. Hanya saja ia kecewa, seharusnya kini ia sudah berada di sebuah kafe buku sekadar menyegarkan pikirannya juga menghindari situasi canggung antara dirinya dengan si pria yang kini berada tak jauh darinya.

Pria bersurai biru gerau dengan jelaga hitamnya itu tengah asyik bermain dengan seekor kucing Persia gemuk milik gadis yang kini manik kembar cokelatnya tengah menyorot kedua makhluk berbeda jenis itu. Tawa lepas selalu terdengar di rungunya tatkala kucingnya mencium hidung bangir sang pria, layaknya kepada dirinya—majikannya. Gadis itu pun merasa aneh, buntalan kesayangannya itu sampai saat ini terus bersikap pongah kepada kakaknya, tetapi saat ini kenapa ia begitu manja dengan jelas-jelas orang asing yang bahkan baru mengenal beberapa hari. Apakah dalam diri pria Choi itu tersembunyi jiwa kucing?

Menyadari sepasang netra menyorot setiap gerakan yang ia lakukan, Yeonjun melirik sekilas pada sang empu lalu kembali bermain dengan buntalan menggemaskan milik sang gadis yang kini tengah mengayunkan tungkainya menuju dirinya juga sang kucing.

"Bitzy, sepertinya majikanmu cemburu karena kau terlalu menempel padaku," ujarnya menggoda sang majikan kucing. Sementara orang yang disinggung tengah mendelik kesal ke bawah sana di mana kucingnya asyik bermanja dengan Yeonjun. Dia mengurungkan niatnya untuk merampas Bitzy—buntalan kesayangannya—dari dekapan Yeonjun, rasanya itu tindakan yang memalukan mengingat pria itu tadi menyindirnya. Lekas ia mengayunkan tungkainya melewati mereka, dan duduk di sofa yang menjadi sandaran punggung tegap Yeonjun.

Tak peduli rasa canggung yang diakibatkan dari insiden tadi pagi. Toh, Yeonjun pun tak begitu, malahan sifat menyebalkannya itu kembali menyerang dirinya. Setidaknya lebih baik daripada harus dalam suasana yang kaku. Jira pun entah sejak kapan merasa terbiasa menerima usilan dari Yeonjun juga sering beradu mulut dengannya. Rasanya apartemen yang selama ini ia tinggali terasa lebih hangat. Asumsi itu mungkin karena ia kesepian tinggal sendiri, hanya Bitzy yang menemaninya.

"Sepertinya kau berbakat jadi pawang kucing, Tuan," celetuknya menatap bahu lebar sang lawan bicara.

"Katakanlah begitu. Aku ini orang yang bertalenta dalam segala hal, tak ada yang mustahil bagi seorang Choi Yeonjun," tuturnya dengan mulut angkuhnya. Wajar saja membuat gadis itu mendecih sebal, merotasikan bola matanya jengah. Akhir-akhir ini rungunya cukup banyak menerima lontaran angkuh dari pria Choi. Tiga hari dalam satu atap bersamanya membuat kepalanya ingin meledak.

"Ya sudah, kau jadi pawang kucing saja, tak perlu jadi seorang idola." Sarkasme yang terlontar dari ceruk bibir gadis itu membuatnya berbalik menatap sang empu. "Lantas kenapa kau masih ada disini?"

"Dengarkan aku Choi Yeonjun, sebelumnya maaf jika aku terkesan mengusirmu. Aku pun tak bermaksud mencampuri urusanmu, entah masalah apa yang menimpamu. Namun, aku mohon setidaknya kauhadapi hal apapun itu. Setidaknya kau memikirkan penggemarmu di luar sana. Mungkin iya mereka tak tahu kini kau tengah kabur dari asrama karena tak ada berita apapun yang naik di berita, namun sebagai penggemar mereka selalu mendukungmu, mengkhawatirkanmu, walau kau tak tahu identitas mereka satu per satu." Bibir Yeonjun kelu, tak sanggup menyambar ocehan panjang lebarnya. Kali pertama, ia membisu di hadapan seorang gadis yang jelas-jelas baru ia kenal. "Aku berbicara begini karena aku juga seorang penggemar, Choi. Aku tahu bagaimana rasanya. Walaupun memang aku bukan penggemarmu, tapi aku berbicara begini demi kebaikanmu. Aku mohon hadapi semua itu meskipun itu berat, jangan bertindak kekanakan seperti ini."

Sorot manik jelaga Yeonjun berubah sendu, menatap kosong ke dalam manik mata cokelat sang gadis seakan sorot matanya menarik untuk menatap ke arahnya. Rasanya ada perasaan teduh di dalam sana. Hanya ada pada gadis itu. Dirinya tak berani menyingkap kedua bilah bibirnya kendati sekadar mengucapkan satu patah kalimat. Rasanya labium itu dijahit rapat-rapat dengan benang tak kasatmata. Dia bersumpah untuk ke sekian kalinya, ini pertama kalinya ia digurui oleh seorang wanita yang membuatnya membisu, selain ibunya.

Memang ucapan Jira benar adanya, bahkan semua tepat sasaran. Dia hanya bisa memaki dirinya sendiri yang begitu kekanakan, terus merutuki dirinya yang begitu egois. Tak memikirkan kariernya, juga karier anggota lain yang sudah ia anggap sebagai adiknya itu kini berada di tangannya. Bahkan, ia lupa tak memikirkan bagaimana perjuangan penggemarnya di luar sana yang terus mendukungnya. Bodoh. Hanya kata itu yang terus ia rutuki dalam dadanya.

"Mungkin ini cukup untuk menampar dirimu. Maaf jika aku terlalu kasar berbicara padamu, Choi," tuturnya lagi sebelum ia beranjak dari duduknya. Namun, lengan kokoh menahan lengannya lalu menarik tubuhnya ke dalam dekapan pria itu. Tubuh Jira awalnya menegang sebelum akhirnya kembali relaks tatkala bahu lebar itu bergetar. Lengannya terulur membalas dekapannya, mengusap punggung tegap itu bermaksud menyalurkan ketenangan bagi sang empu. Tak peduli ceruk lehernya basah tatkala wajah pria itu disembunyikannya di sana, mungkin karena malu tak ingin gadis itu melihat dirinya kacau dan terkesan lemah. Jira membiarkannya untuk kali ini, ia rasanya ingin berguna bagi sesama manusia.

Yeonjun mengeratkan dekapannya, menghirup aroma peach yang melekat di tubuh gadis itu membuatnya terasa nyaman. Dia menumpahkan seluruh bebannya hanya pada gadis itu, tak peduli berapa lama ia mengenalnya yang terpenting ia merasa nyaman tatkala merangkum tubuh mungilnya. Kendati demikian, ia malu menunjukkan sisi lemah padanya. Jika tautan ini pun terlepas, ia tak tahu harus bersikap apa terhadap gadis yang berani membuat hatinya mencelos dengan tuturan kata yang terkesan sarkasme mengenai hati, tetapi bisa menamparnya secara tak langsung. Sudah beberapa hari ia berusaha menjernihkan pikiran, ia merasa tak menemukan jalan keluarnya. Sebelum akhirnya, gadis itu memberikan cahaya baginya.

Sejujurnya di antara kedua insan itu saling merasa penuh, bagai ada relung kosong yang terisi sudah lama ini. Bagai dua insan yang merindu dipisahkan oleh jarak dan waktu. Namun, rasanya itu hanya pengandaian belaka sebab sebenarnya mereka hanya dua insan yang baru mengenal yang hitungan waktunya bisa dihitung dengan jari. Apakah mungkin di kehidupan sebelumnya mereka saling terikat? Kuno sekali jika selalu berpikir demikian. Yang mereka tahu hanya detik ini mereka menyalurkan kehangatan satu sama lain, membiarkan waktu terus berjalan walau bagi di sekeliling mereka rasanya waktu terhenti tuk beberapa saat.

"Thanks a lot, young lady."

"Don't mind it, sir."

***

ANNYEONG, MOA YEOROBUNN!!!
IT'S ME ARA.

SO, DON'T BE SIDERS, JUST LEAVE SOME VOTES + COMMENTS!1!1!

—luv, ara❤️

YOU ARE • Choi YeonjunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang