Epilogue

2.5K 177 31
                                    

Musim panas telah tiba ditandai dengan suhu yang mengudara di gegana semakin naik. Sang mentari pun layaknya membikin kurva harsa tatkala dirinya mengambil alih sang cakrawala. Namun, hiruk pikuk di kota megalopolitan dengan gedung-gedung yang menjulang serta lalu lalang kendaraan beroda empat membikin suasana semakin sibuk ditambah para insan yang berderap menuju tujuan yang berbeda. Lantas gadis Ahn termasuk bagian di dalamnya.

Tungkainya mengayun menyusuri trotoar, lalu berhenti tatkala pijakannya berada di halte bus. Daksanya pun lekas menyeruak menaiki bus menuju kediamannya dengan susah payah membawa kantong belanjaan yang berjubel berada di dekapannya. Manik cokelatnya memindai berharap masih tersisa kursi kosong. Namun, nyatanya nihil. Jika tahu begini ia takkan memburu naik ke dalam bus, tetapi rasa ingin membaringkan daksanya terlalu masif hingga ia ingin cepat-cepat pulang. Terlebih lagi suhu luar ruangan kian memanas, membikin dirinya ingin mendinginkan tubuh dengan minuman dingin. Mungkin lemonade dengan banyak es batu, dahaganya bisa langis pada saat itu jua.

Kendati harapannya terdestruksi, ternyata masih ada orang yang berbaik hati di tengah kota yang agaknya pasti berasumsi diduduki penduduk yang tak acuh serta hidup megalopolis. Seorang pemuda berkulit putih dengan perpaduan iris mata sebiru samudera begitu indah, mempersilakan tempat duduknya tatkala menyadari gadis Ahn itu tampak kesusahan membawa barang belanjaan. Lantas birai kurva manisnya terpatri, tak lupa ucapan terima kasih tersinkron.

Dibuangnya muka keluar jendela mengamati kontur kota New York yang dirindukannya belasan tahun yang lalu. Namun, kini ia memutuskan untuk kembali hingga tak terasa dirinya sudah menghirup udara kota New York hampir menginjak genap dua warsa. Tak mengelak jika dirinya sekarang malah merindukan negeri kelahirannya yang tak kalah indah. Memang Patung Liberty di sini sangatlah menarik, tetapi Namsan Tower pun tak kalah menariknya.

Renjana yang meluap dari hatinya kini mengantarkannya mereminisensi fraksi kenangan di sana. Ia benar-benar merindukannya. Kendati entah rindu yang mana yang ia maksud sekarang. Entah memang benar-benar merindukan tanah kelahirannya ataukah merindukan sang pemuda yang kini hanya bisa dipandang dari layar kaca ataupun dari radas pipih seukuran genggamannya. Tak lengkara serta membuang hipokrit pada dirinya jika ia merindukannya. Ia lantas tersenyum getir mengingat dengan munafiknya menggoreskan penanya pada secarik kertas, menuliskan penggalan leksikal jika sang penerima itu tak perlu mencarinya hingga ke sini. Nyatanya kini ia berharap lain, ia menginginkan sang pemuda itu berada di hadapannya. Ia tak mengelak jika dirinya seorang insan yang paling munafik di antara orang munafik.

Helaan napas pun keluar dari bilah labium tipisnya. Lantas bergumam dalam hatinya sendiri dengan segala pertanyaan yang berjubel dalam mindan. Apakah ia masih pantas bertemu dengannya setelah perpisahan yang secara tiba-tiba? Apakah pemuda itu kini malah telah membencinya? Entahlah, yang kini ia ketahui jika Yeonjun semakin bersinar dengan kariernya sesuai apa yang diharapkan pada isi suratnya. Ia tahu bukan sebab permintaannya hingga pemuda itu bisa benar-benar semakin memukau, melainkan hasil tersebut adalah usahanya sendiri. Ia percaya akan kemampuan Yeonjun yang mumpuni menguasai panggung serta bakatnya menggubah lagu.

Tak terasa dirinya sudah berada di lain pijakan. Ia menyusuri trotoar hingga berbelok menuju jalanan perumahan yang tak jauh dari pusat kota. Ia terlalu bosan untuk tinggal di apartemen, beruntunglah ia menemukan sebuah rumah yang disewakan di area perumahan yang asri. Memang ukurannya hanya layak ditinggali sebuah keluarga kecil, seperti apa yang diharapkan isi dompetnya. Dengan demikian, biaya hidupnya tak membengkak setiap waktu. Sempat terlintas dalam benaknya apakah ia pindah saja ke sini seperti dulu bersama keluarganya? Namun, rasionya memutar kembali jika dirinya lebih menyukai tanah kelahirannya, bukan negeri orang. Toh, di sana pula masih banyak perumahan asri seperti ini.

Tungkainya sekonyong-konyong stagnan berada pada tangga pertama menuju pelataran rumah. Netranya terfiksasi pada entitas yang sedari tadi menggerayangi mindanya. Sungguh, ia tak kapabel melangkah lebih lanjut sebab ia tengah membenahi rasionya apakah dirinya tengah berhalusinasi di siang bolong begini. Namun, seberinda spekulasinya ditampik tatkala daksanya dirangkum dalam dekapan yang dirindukannya itu begitu hangat.

Lengan rampingnya lantas membalas rangkumannya, menyalurkan renjana selama ini yang ditahannya dalam diri. Manakala skenario yang dilakukannya ini adalah salah satu adegan dalam mimpi, tolong jangan ada yang membangunkannya dalam lelapnya tidur. Namun jika memang ini benar-benar terjadi di dunia nyata, tolong bahwa ini bukanlah halusinasi semata.

"Akhirnya, aku menemukanmu, Ji. Aku begitu merindukanmu."

Jira memejam tatkala ungkapan lembut dari resonansi keluar dari bilah labium ranum sang pemuda Choi menyusupi rungu.

"Aku pun merindukanmu, Jun."

***

Ada prolog pasti ada epilog dong. Ya, walaupun epilognya pendek, ngegantung, gaje. Tapi setidaknya sebagai penambah cerita lah ya.

Okay, mau promosi lagi ah. Bertepatan dengan update-an epilog ini, aku memublikasikan lapak baru aku. Cast-nya Soobin ya judulnya "Apostrophe'". Monggo silakan dicek ya MOA, itu pun kalo berkenan. Sampai jumpa di lapak baru aku ya!

Dan sebenarnya ini baru kurevisi puebi-nya dan ada cacat logika dari plotnya yang agak tidak masuk akal, tapi ga mengubah jalan cerita kok.

Oh iya, promosi dikit dulu, kalian boleh mampir ke work aku yang lain:
1. Apostrophe' - Soobin
2. Anesthesie - Taehyun

Dan kalau di antara kalian suka au lokal, boleh mampir ke work aku Sweet Plan. Di sana ada Kak Juna sama Kak Bima, lhoo. Siapa, sih, mereka?

Okay, intinya makasii udah baca sampai akhir, dan makasii juga buat yang suka ninggalin jejak.

C ya~

ara

YOU ARE • Choi YeonjunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang