28. Tuhan Benar-Benar Ingin Membuatnya Hancur

12 0 0
                                    

Aku selesain bab ini tengah malem haha. Semoga ngga mengecewakan wkwkw.

⚪⚪⚪

Kelu mendengar langkah-langkah cepat memasuki rumah. Ia juga mendengar suara gemerincing entah sumbernya.

Ia mendengar suara Warik dan bangkot-bangkotnya sama panik. Bagaimana tidak? Dari jendela, Kelu bisa melihat banyaknya polisi-polisi yang bisa saja siap merubuhkan rumah reot ini.

Suara pintu rumah depan didobrak. Kelu mendengar selotnya bergemerincing di lantai. Selain itu, ia mendengar gertakan dan derap sepatu yang mulai menyisiri rumah.

Pintu kamar Kelu didobrak. Polisi itu terdiam sejenak menatap Kelu yang berdiri di samping kursi rias. Tidak ada yang menyangka kalau Kelu Resa ada di sini.

"Bisa ke luar, Mba?" pintanya dengan tegas.

Kelu mengangguk-angguk. Tangannya gemetaran. Darah di dalam tubuhnya berdesir terlalu cepat. Ia sangat ketakutan.

Ia digiring keluar kamar. Ia lihat tangan Warik diborgol dan kepalanya mencium lantai.

Kelu disuruh duduk di meja makan. Ia benar-benar takut. Bahkan saat menarik kursi pun, tangannya hampir tak bisa bergerak karena terlalu tegang. Beberapa polisi sempat meliriknya, kemudian menarik pandangannya lagi. Mungkin mereka kaget melihat Kelu Resa ada di sini. Dan Kelu juga kaget melihat mereka ada di sini.

Salah satu polisi menjebol lantai rumah di ruang keluarga. Di mana, dari kursi ini pun, Kelu bisa melihatnya. Karena lantai rumah Kelu dari papan kayu, hanya dengan tiga kali tonjokan pun, papannya hancur. Antara kayu papan itu sudah keropos atau memang kekuatan dari polisi berotot itu.

Cupang, Bajrui, Draju dan Anto mereka semua berada dalam posisi seperti Warik. Dan punggung mereka ditiban dengkul polisi.

"Di mana lagi?" tanya salah satu polisi pada Warik.

"Cuma itu aja, Pak," lirihnya. Warik tampak tidak berdaya. Sangat tidak berdaya.

Kelu menatapnya. Dan Warik menatapnya juga. Warik hampir menangis.

"Geledah semuanya," perintah salah satu dari mereka.

Semua berpencar. Dua orang masuk ke dalam kamar Kelu. Beberapa ke luar rumah. Dan sisanya mengeledah seluruh ruangan di dalam rumah ini.

Warik dan bangkot-bangkotnya dipaksa berdiri. Mereka tidak dibiarkan lepas dari dekapan para polisi.

Salah satu polisi menghampiri Kelu. "Ini milik bapak, Mba. Mba tau dari mana?" Dia menyodorkan satu paket sabu yang dibungkus plastik kecil. Kelu tahu. Itu sabu seberat satu gram. Warik pernah menjelaskannya dulu sekali; saat Kelu hendak makan, di meja makan ia melihat banyak sabu dalam plastik kecil yang dijajar memenuhi meja, dan Warik menjelaskannya walaupun Kelu tidak butuh mendapatnya penjelasan---saat ia masih SMP.

Kelu menggeleng-geleng.

"Sejak kapan orang tua kamu-?"

Kelu mengusap matanya, lalu turun ke tengkuk. Ia menggeleng-geleng. Bukan tidak tahu. Tetapi, tidak mau menjawab.

"Kamu tahu?"

"Ya," jawab Kelu singkat. Kelu tahu, tidak ada yang bisa disembunyikan saat berbicara dengan polisi. Apalagi kalau perbuatan yang salah.

"Sebagian tetap di sini. Sebagian ikut dengan saya. Kita kembali," perintahnya.

"Mba juga harus ikut untuk pemeriksaan."

Warik dan bangkot-bangkotnya digiring keluar rumah. Mereka tidak bisa melawan. Lima hanya seperapatnya dari dua puluh. Sekiranya baru dua puluh yang Kelu hitung. Entah di luar ada berapa banyak lagi.

Aku Bisa Membaca Pikiran dari Pakaian yang Kamu Kenakan [TAMAT]Where stories live. Discover now