4 - Api yang hangat

4.4K 710 49
                                    

Kau masuk keruangan guru dengan setelan baju yang rapi. Tentu saja, kau harus terlihat dewasa sebagai seorang wali murid. Bagaimanapun juga, ini adalah rencana yang harus berhasil untukmu dan juga Blaze.

Diseberangmu terdapat anak dengan wajah yang luka dan ibunya. Mereka menatapmu tidak suka, sepertinya anaknya adalah korban dari Blaze. Kasihan sekali, wajah tampannya itu harus bonyok karena tindakan dari otaknya yang sekecil pecahan kerikil.

"Blaze, silahkan duduk."

Kau menoleh dan mendapati Blaze baru datang dengan wajahnya yang kusam. Ia segera duduk disampingmu agar guru yang berada didepan mereka melanjutkan perbincangannya.

"Jadi masalah kali ini. Blaze memukul anak ini dan beberapa siswa lain. Ini bukan sekali tetapi bahkan sudah berkali-kali kau sering masuk BK karena tingkahmu." Guru itu memulai topik, sepertinya guru itu juga tidak menyukai Blaze. Blaze hanya diam karena tidak ingin mengamuk diruang BK. kau turut senang karena dia berhasil menahan emosinya untuk sebentar.

"Memang benar-benar anak nakal. Apa ibumu tidak mengajarimu sopan santun? Seenaknya saja memukul dan membuat anak saya begini. Oh tentu saja ya karena ayah dan ibunya juga tidak jelas dan menghilang. Mungkin saja kedua orang tuamu juga meninggalkanmu." Ibu itu tertawa bagai tanpa dosa.

Kau melihat Blaze yang sepertinya sudah sampai puncaknya untuk mengamuk. Jika dibiarkan sepertinya dia akan kebakaran.

Kau memutar kursimu menghadap si ibu dan anaknya sehingga membuat mereka sedikit terkejut. Kemudian dengan santainya kau menaikan kaki kananmu diatas kaki kiri dan menopang pipi kirimu dengan tangan yang ditaruh diatas meja. Kau terlihat seperti penguasa sekarang.

"Ibu ini bahasanya kasar sekali. Ibu nggak pernah diajari sopan santun ya oleh orang tuanya? Menghina itu tidak sopan loh. Oh dan mungkin saja anaknya yang tampan ini juga berkelakuan seperti ibunya." Kau mengatakan sesuatu yang membuat Blaze terkejut.

"Apa-apaan kau ini yang masih muda seenaknya berbicara seperti itu pada yang lebih tua." Ibu itu membalas dengan kata-kata yang tidak ada kaitannya sama sekali dengan ucapanmu barusan. Bisa dibilang dia kalah tetapi tidak mau kalah.

Kau memijit keningmu. "Ibu tidak bisa loh menggunakan umur sebagai alasan agar saya tidak membalas perkataan Ibu. Karena saya sebagai manusia juga berhak untuk berpendapat. Jangan ibu pikir karena ibu yang paling tua disini seenaknya saja mengata-ngatai dan saya disini tidak boleh membalas." Kau mencibir dengan kata-kata yang halus. Membuat wajah Ibu itu menjadi merah seperti hendak meledak.

"Iya gak 'dik? Kau juga pasti sama seperti Ibumu kan? Suka mengata-ngatai orang seenak jidat?" Ucapanmu yang sangat fakta ini membuat anak itu meneguk ludahnya takut. Sepertinya dia memang mengatakan sesuatu pada Blaze dan Blaze tidak mau mengatakan apapun padamu.

"Maaf tolong jangan ribut disini. Untuk kalian berdua boleh masuk kekelas, saya akan memanggil kalian berdua nanti."

Mereka berdua langsung berdiri dan hendak keluar dari ruangan. "Semoga beruntung." Kau berbisik kecil pada Blaze. Blaze hanya menoleh kecil kemudian berlalu pergi.

Si Ibu sepertinya akan mulai menceramahimu dengan panjang lebar. Kau segera memasang headphone untuk menutup telingamu agar tidak tuli. Sebuah lagu kesukaanmu terputar dan kau bersenandung kecil tanpa memperdulikan kedua manusia dihadapanmu ini.

***

Kau berjalan keluar dari ruang BK setelah meminta izin ingin ke wc. Kau melihat jam dari handphonemu yang menunjukkan sudah berlalu 5 menit sejak Blaze dan anak itu keluar. Pasti sudah terjadi sesuatu yang seru diluar sana.

Kau berjalan dengan cepat, yah kau sudah merencanakan semuanya kemarin jadi semuanya pasti akan berjalan sesuai rencanamu.

Kau berjalan menuju lorong yang sepi. Yah disana kau menyuruh Blaze untuk berjalan saat keluar dari ruang BK. Kau yakin bahwa Blaze akan menurutimu.

Dan disanalah mereka. Blaze tengah memukul anak itu tanpa dilihat oleh siapapun. Bodohnya anak itu karena mau saja mengikuti Blaze ketempat sepi ini.

"Oke sudah cukup." Kau menarik tudung jaket milik Blaze sehingga ia berhenti dan menjauh sedikit dari anak itu. Anak itu kini benar-benar babak belur, sepertinya ia tidak akan tampan lagi setelah keluar dari rumah sakit.

"Serahkan padaku." Kau menengadahkan tanganmu kearah Blaze dan Blaze menyerahkan sebuah benda hitam kecil yang diketahui itu adalah alat perekam suara.

Kau menekan tombol 'play' sehingga suara didalam sana terputar.

"Hei! Hei bodoh! Kau mengadu ya sialan?"

Itu adalah suara anak ini. Yah suara sejelek ini pasti miliknya. Tidak mungkin suara orang lain ditempat seperti ini.

"Kenapa mengacuhkanku? Kau tau? Setelah ini kau pasti akan dikeluarkan dari sekolah dasar sampah."

"Lihat saja, orang tuamu bahkan meninggalkanmu bukan? Kau yatim piatu yang kasihan sekali."

Dia tertawa mengejek. Jelas sekali orang aslinya langsung melotot mendengar rekaman suaranya sendiri.

"Heh tidak mau marah? Ayo pukul biar kau lebih cepat keluar dari sini dasar pencundang. Semua keluargamu itu benar-benar sampah, semuanya tidak ada yang becus termasuk kau."

Wow tajam sekali lidahnya dalam mengatai. Yah tapi tentu saja tidak setajam lidahmu yang bisa membuat orang stroke sangking terkejutnya mendengar fakta darimu.

Buak!

Kau mematikan recoder itu. Sudah suara pukulan yang berarti pembicaraan sudah selesai.

Kau menatap kearah pemuda yang tengah babak belur itu dengan wajah kemenangan. "Waduh sepertinya siapa yang akan dikeluarkan nih? Kau sampai mengorbankan dirimu untuk kena pukul ya?"

Tak lama kemudian guru yang tadi dan Ibu dari anak itu datang. Ia langsung memeluk anaknya yang babak belur dan mencaci makimu.

Kau kembali menghidupkan recorder itu dan memperdengarkan dengan jelas apa isinya.

Semuanya tentu saja terkejut, tidak disangka dalangnya adalah korbannya sendiri dan Blaze malah adalah korban dari penghinaan itu.

Kau membuat wajah menghina kepada Ibu dan anaknya sambil memainkan recorder itu.

"Duh sepertinya dewi keberuntungan berpihak padaku nih. Untuk biaya rumah sakitnya tanggung sendiri ya."

Kemudian kau pergi dari sana sambil menarik Blaze pergi. Kau sudah cukup bertindak dan itu membuatmu lelah.

Kau mendudukkan diri disebuah kursi bersama Blaze. Sepertinya babak belur Blaze bertambah lagi karena dirimu tapi itu setimpal dengan hasilnya.

"Kalau mau melawan itu harus menggunakan bukti. Tidak bisa hanya berkata saja." Kau menasehatinya bak profesional. Blaze hanya diam dengan raut wajahnya yang sedih atau bisa dibilang merasa bersalah(?).

Kau kembali menatap langit.

"Api itu sangat berbahaya. Saat kau menyentuhnya maka itu akan melukaimu. Ia mudah sekali membakar sesuatu apa yang lihat. Dan juga hanya dengan hembusan angin, ia bisa menjadi sesuatu yang lebih berbahaya lagi." Ia melihat kearahmu dan seolah mengerti kalau kau mengata-ngatainya sekarang. Kau kemudian melihat kearahnya dengan wajah yang damai sehingga ia sedikit tersentak. "Tapi tetap saja api itu sangat dibutuhkan bukan? Meski orang-orang takut padanya, meskipun api itu memang sangat menakutkan tapi tetap saja api itu sangat dibutuhkan dan penting."

Kata-katamu membuatnya sedikit terpana.

Kau kemudian mengelus kepalanya sehingga membuat topinya berubah tempat. "Sama seperti api. Kau dibutuhkan oleh orang-orang meskipun kau menakutkan. Jadi jangan sedih, itu bukan salahmu jika sifatmu seperti ini."

Ia memperbaiki topinya begitu kau selesai mengelus kepalanya.

Kau teringat dengan kartu kredit yang diberikan oleh paman Amato. Sedikit bersenang-senang juga tidak apa-apa kan?

"Hei, mau bermain denganku?"

To be continued...

A/n:

Well sepertinya kalian berhasil mengambil hati si api.

Saatnya untuk menghabiskan uang paman Amato bukan?

Salam,
Ruru

『 Save Them 』 BoBoiBoy ✔Where stories live. Discover now