Bab 1

97.1K 8.9K 534
                                    

Berita di televisi lagi-lagi menampilkan perkembangan kasus virus Corona di Indonesia yang sudah mencapai seratus ribu. Siapa yang menyangka virus yang tadinya heboh di Wuhan pada akhir tahun 2019 lalu itu bisa sampai ke Indonesia bahkan seluruh dunia, membuat seluruh dunia kelabakan, Singapura, Australia dan Korea Selatan bahkan sudah mengumumkan kalau perekonomian mereka mengalami resesi.

"Sampai kapan ini virus eksis, ya Allah," keluh Seza yang walaupun sudah muak dengan berita seputar corona, tetap saja mengikuti perkembangan kasusnya. Mulai dari menonton televisi, mengecek Twitter, sampai membaca sebaran kasus di akun Instagram Gugustugas Covid-19. Apalagi yang bisa dilakukannya selain rebahan sampai punggungnya berakar? Pekerjaan? Dia sudah kehilangan itu semua sejak empat bulan yang lalu.

Seza merindukan suasana dapur di hotel tempatnya bekerja, rindu mengenakan seragam, rindu food plating, bahkan dia rindu diomeli oleh Chef Andi yang menyebalkan itu. Seza menghela napas lelah, rasanya ini tahun terberat selama hidupnya. Lebih berat daripada saat dia mengetahui kalau ayahnya meninggal dunia dan meninggalkan utang yang harus dilunasinya, juga memikul tanggung jawab membantu ibunya untuk menyekolahkan Salma—adiknya. Sandwich generation, yeah!

"Teh, ini tuh ngerjainnya gimana? Adek nggak ngerti." Salma mendekati kakaknya yang sedang melamun, matanya sih mengarah ke televisi, tapi pandangannya kosong. Sudah jadi makanan sehari-hari Salma melihat kakaknya bengong begitu. Bahkan ibu mereka selalu berpesan untuk menyadarkan Seza, takutnya gadis itu kesambet.

"Coba kamu tanya guru yang ngajar, Teteh juga nggak ngerti," katanya sambil mengembalikan buku cetak milik adiknya itu.

Salma kembali ke mejanya dan mencoba mengerjakan tugasnya sendiri. Seza memperhatikan adiknya yang terlihat murung, dia tahu kondisi sekarang bukan hanya sulit untuk dirinya tetapi juga semua orang. Salma harus belajar online, dan siapa yang menyangka kalau itu lebih sulit. Sering kali adiknya itu mengeluh, katanya dia lebih suka belajar di sekolah.

Di awal-awal virus ini muncul, Seza bahkan melarang dirinya untuk mengeluh, karena lebih banyak yang merasa lebih sulit daripada dirinya. Tetapi lama kelamaan, rasanya dia sudah tidak lagi punya kekuatan untuk dirinya sendiri. Dia capek di rumah saja, uang tabungannya sudah banyak terkuras, tagihan bank setiap bulan tetap berjalan, tetapi dia tidak punya pekerjaan.

Angan-angan untuk membeli rumah di usia muda sirna sudah, tabungannya sudah habis hingga delapan puluh persen. Kalau sebulan lagi dia tidak mendapat pekerjaan, Seza akan jadi gelandangan. Tidak sih, karena dia masih punya ibu. Namun, ibunya cuma seorang staff administrasi di perusahaan konstruksi. Penghasilan ibu hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka. Satu yang disyukurinya, ibunya masih tetap bekerja, tidak terkena PHK sepertinya.

"Teh..." panggil Salma, lagi-lagi membangunkan Seza dari lamunan.

"Ya?"

"Laper."

Seza langsung beranjak dari kursinya dan berjalan menuju dapur. Dia membuka kulkas hanya ada air mineral dan beberapa telur di dalamnya. Seza mengembuskan napas dan memilih membuatkan telur dadar untuk Salma, setelah matang dia mengambilkan nasi putih dan memberi sedikit kecap asin.

"Kapan aku bisa makan, makanan enak buatan Teteh lagi?" tanya Salma setelah menerima piring yang diberikan Seza.

Dia mengusap pelan kepala adiknya. "Doain ya, Teteh dapet kerja lagi."

*****

Seza mengendarai mobilnya, sebuah Kijang kapsul keluaran tahun sembilan puluhan. Mobil itu menemaninya menembus derasnya hujan. Pukul empat sore tadi, ibunya menelepon, meminta Seza menjemputnya, karena terjebak hujan. Saat setengah perjalanan menuju kantor ibunya, ponsel Seza berdering, panggilan masuk dari Indri, sahabatnya. "Ya, Ndri?"

Gara-gara Corona (TERBIT DI GOOGLE PLAYBOOK)Where stories live. Discover now