Bab 19

36K 8.2K 550
                                    

Seza sudah berada di rumahnya sejak dua jam yang lalu, dia juga sudah siap tidur dengan piyama lusuh, tetapi sejak tadi yang dilakukannya hanya berbaring dari kanan ke kiri seolah mencari posisi yang nyaman untuk bisa terlelap.

Seza masih tidak percaya dengan apa yang tadi diucapkannya pada suami Monika, bagaimana bisa dia mengaku sebagai pacar Deva di depan Devanya pula. Boro-boro pacar, mereka saja bukan teman. Deva adalah majikannya. Masih terbayang bagaimana mata Deva menyipit karena tertawa melihat Seza yang salah tingkah.

Sepanjang perjalanan tadi yang bisa dilakukan Seza hanya menutup mulutnya rapat-rapat, dia takut kembali salah bicara. Sedangkan Deva beberapa kali melempar senyumnya sambil menoleh ke arah Seza.

Namun bukan hanya itu saja yang menguasai pikiran Seza saat ini, tetapi juga tentang tingkah Monika yang menurutnya luar biasa menjengkelkan. Bagaimana bisa perempuan itu bersikap kekanakan, lari dari masalah bahkan melarikan diri dari suaminya kemudian mendatangi rumah laki-laki yang bukan keluarganya. "Pake acara peluk-pelukan lagi," rutuknya.

Saat sedang memikirkan tingkah Monika, Seza mendengar ponselnya berdering, panggilan masuk dari Deva. Jantungnya langsung berdebar kencang saat melihat nama itu.

"Ha... halo?" sapa Seza gugup.

"Belum tidur?" tanya Deva.

"Belum. Kenapa Dok?"

"Nggak papa, saya juga belum bisa tidur. Nyoba nelepon kamu, eh ternyata masih melek juga."

Seza merasakan jantungnya berdetak cepat. "Dokter bukannya besok harus ke RS? Nanti kesiangan lho, Dok."

"Kamu juga bukannya besok mau ke rumah saya? Nanti kesiangan lho," balas Deva.

Seza mengerucutkan bibirnya. "Kalau saya telat, dokter marah?"

"Iya nanti kamu saya marahin sampai nangis."

"Jahat!"

Deva tertawa. "Za..." panggil Deva.

"Ya dok?"

"Kamu menyenangkan ya anaknya."

Lagi-lagi jantung Seza berdetak lebih cepat. Apa sih maksud dokter ganteng ini. Menyenangkan seperti apa? Seza jadi bingung harus menanggapi seperti apa. Jadi dia hanya bisa terdiam, menunggu Deva kembali bersuara.

"Kalau nanti keadaan udah kembali normal kamu bakalan tetap kerja dengan saya nggak?" tanya Deva.

"Kenapa dokter nanya gitu?"

"Saya takut kehilangan temen ngobrol," lanjutnya.

"Saya mau kok jadi temen dokter. Walaupun nanti udah nggak kerja lagi."

"Saya pegang ya ucapan kamu."

Seza menelan ludah. "Serius amat sih, Dok. Tapi kalau sekadar temen cerita sih nggak masalah buat saya."

"Temen cerita dan temen makan juga. Eh bukannya kamu itu pacar saya ya?" canda Deva.

"Dokter!"

"Apa Seza?"

Seza sepertinya benar-benar harus memeriksakan jantungnya kepada Haikal karena ulah Deva ini. "Saya ngantuk, Dok."

Deva tertawa. "Ya udah sampai ketemu besok."

"Besok saya telat jadi kita nggak akan ketemu."

"Kita ketemu besok karena siangnya saya makan di rumah. Masakin yang enak ya," ucap Deva sebelum mengakhiri panggilan itu.

*****

Puluhan kali Monika berusaha untuk menghubungi Deva, tetapi laki-laki itu tidak berniat untuk mengangkat panggilan itu. Deva jelas bisa menebak apa yang akan terjadi kalau dia mengangkat panggilan itu, Monika akan merengek untuk meminta Deva menjemputnya. Sahabatnya itu sungguh kekanakan, entah kapan Monika bisa tumbuh menjadi lebih dewasa.

Pusing dengan telepon masuk dari perempuan itu membuat Deva menghubungi Seza. Entah kenapa mengobrol bersama Seza membuat keadaan hati Deva menjadi lebih baik. Gadis itu menyenangkan, suara riangnya sering kali menghipnotis Deva hingga ikut hanyut dan merasa bahagia. Penampilannya yang imut juga menjadi daya tarik tersendiri. Saat bertemu dengan salah satu kenalan Seza di mall waktu itu, naluri untuk melindungi Seza hadir dengan begitu kuat.

Deva sendiri bingung kenapa dia bisa merasakan hal seperti itu, padahal dia baru bertemu beberapa kali dengan Seza. Apakah dari interkasi pertama mereka lewat post it? Atau memang pembawaan Seza yang membuatnya nyaman?

*****

Sejak pagi tadi Seza belum bertemu dengan Deva, laki-laki itu sepertinya harus ke rumah sakit pagi-pagi sekali. Deva juga belum menghubunginya. Seza jadi ragu, apakah dia tetap harus memasak dan menunggu Deva menghubunginya.

Kenapa nggak kamu tanya aja. Bisik hati kecilnya.

Seza mengeluarkan ponselnya dari saku celana, lalu membuka ruang obrolan dengan Deva. Dia mengetikkan sesuatu tetapi kembali menghapusnya. Seza jadi ragu, di satu sisi dia ingin bertemu dengan Deva, namun di sisi lain sepertinya lebih baik hari ini mereka tidak bertemu dulu.

Seza masih merasa malu karena insiden kemarin. Ya, itu semua karena ulah mulutnya yang menyambar lebih cepat ketimbang otaknya sehingga mengeluarkan kata-kata yang mempermalukan dirinya sendiri. Belum lagi kalau Deva kembali membahas masalah 'pacar' ini seperti semalam, Seza yakin dia lebih baik bersembunyi saja di bawah kolong tempat tidur.

Saat sedang ragu untuk menghubungi Deva, laki-laki itu malah meneleponnya. Sebelum mengangkat panggilan itu Seza mengembuskan napas dan berdehem terlebih dahulu. "Halo Dok?" sapanya.

"Kamu lagi apa? Masak?"

"Hm... iya lagi nyiapin bahan-bahannya."

"Rencana mau masak apa?"

"Ayam saus jamur."

"Hm... kedengarannya enak. Gimana kalau buat makan malam aja? Saya masih ada operasi siang ini, jadi nggak bisa pulang," jelas Deva.

"Eh? Jadi saya harus nunggu dokter sampai malam?"

"Kamu boleh pulang dulu, nanti sore ke rumah lagi."

Seza berpikir sejenak. "Gimana kalau saya buatin sekarang nanti dokter tinggal panasin aja."

"No! Saya mau makanan yang fresh. Dan..."

"Dan?"

"Dan makannya sama kamu."

Seza menelan ludah, kalau begini hatinya yang lemah akan semakin lemah karena Deva. Kenapa makin hari semakin sulit saja bekerja dengan laki-laki ini. Kenapa hatinya begitu lemah?! Seza tidak mau terjebak dalam perasaan yang ujung-ujungnya akan menyakiti dirinya sendiri. Namun dia juga tidak bisa menolak kalau perasaan nyaman itu hadir.

*****

Sedikit dulu ya, pemanasan setelah lama nggak nulis.

Happy reading...

Gara-gara Corona (TERBIT DI GOOGLE PLAYBOOK)Where stories live. Discover now