Bab 25

34.8K 7.3K 462
                                    

"Bego... bego... bego!" Seza membentukan keningnya pada stir mobil berulang kali. Setelah mengatakan ingin berhenti bekerja, Deva menanggapinya dengan senyuman dan mengucapkan selamat padanya karena sudah mendapatkan pekerjaan baru. Laki-laki itu mengatakan kalau dia ikut bahagia, "aku tahu kamu punya potensi yang bagus, masakan kamu enak, Za. Walaupun aku suka masakan dan hasil kerja kamu, nggak mungkin kan selamanya kamu kerja di sini. Pasti kamu mau memulai karier lagi sesuai dengan bidang yang kamu minati."

Rentetan kalimat panjang itu entah kenapa membuat hati Seza mencelos. Apa yang diharapkannya? Deva memohon agar ia tidak berhenti bekerja? Seza pasti sudah gila karena perasaan sukanya pada Deva ini.

"Terus sekarang aku harus gimana?" tanyanya pada diri sendiri. Jelas-jelas apa yang dikatakannya pada Deva itu bohong, karena dia juga belum mendapat panggilan dari Shiffudo, kalau dia harus berhenti dari pekerjaannya yang sekarang, artinya Seza harus kembali menjadi kaum rebahan.

Seza mencengkram rambutnya, masih dengan terus merutuki diri sendiri. Sampai akhirnya dia berusaha menenangkan diri, mengambil napas dalam-dalam kemudian mengembuskannya perlahan. Seza mulai menyalakan mesin mobilnya untuk pulang ke rumah. Tidak baik kalau Deva masih melihat mobilnya terparkir di depan rumahnya seperti ini.

Sepanjang jalan pikiran Seza melayang pada nasibnya nanti. Kenapa hidupnya harus serumit ini? Kalau saja dia tidak kena PHK dari tempat kerjanya dulu, dia tidak akan bertemu Deva dan jatuh cinta pada laki-laki itu. Atau kalau saja Deva bukan majikan yang baik dan perhatian, Seza tidak mungkin meneruh hati padanya.

Sesampainnya di rumah Seza langsung menceritakan apa yang terjadi pada Indri. Perempuan itu menanggapinya dengan berkata, "jatuh cinta itu bukan dosa Seza. Kita nggak bisa mengatur hati kan?"

"Iya. Tapi kan harusnya gue tahu diri."

"Iya sih, perasaan lo lancang banget. Tapi gimana kalau ternyata dokter Deva juga naksir lo?"

Seza berdecak kesal. "Jangan bikin gue mengkhayal yang nggak-nggak deh!"

Indri menertawakannya. "Ya udahlah, nggak pa-pa. Siapa tahu lo beneran bisa masuk Shiffudo."

"Aamiin," sahut Seza.

Setelah panggilan itu diakhiri. Seza berbaring sambil memainkan ponselnya, sejak kemarin dia menunggu-nunggu email balasan dari Shiffudo, tetapi hingga hari ini, email itu tidak kunjung datang. Akhirnya Seza membuka-buka percakapan lamanya dengan Deva di WhatsApp. Seza melihat status Deva yang sedang aktif, kemudian ada pesan masuk dari laki-laki itu.

"Aduh! Langsung kebaca!" Seza panik karena pasti di ponsel Deva tanda conteng dua itu langsung berubah biru, ketahuan sekali kalau Seza sedang menunggu-nunggu pesan dari Deva.

Dokter Deva : Lagi ngapain kamu, Za?

Wah langsung dibaca. Lagi nggak sibuk kayaknya 😄

"Aduh Seza! Kok bego banget sih!" Entah sudah berapa kali Seza merutuki dirinya sendiri hari ini.

Seza : Lagi santai.
Nggak sengaja kebuka tadi.

Dokter Deva : Oh nggak sengaja.
Eh, kapan sih kamu mulai kerja di Shiffudo?

Seza menggigit bibir bawahnya setelah membaca pesan itu. Kali ini dia harus menjawab apa? Apa dia mengaku saja kalau ucapannya tadi hanya asal ceplos. Ah tidak! Pasti itu akan membuat dirinya semakin malu.

Seza : Belum tahu, katanya nanti dikabari lagi.

Dokter Deva : Oh gitu.
Nanti kayaknya saya akan sering makan di sana.

Seza merasakan jantungnya berdetak cepat. Laki-laki ini pura-pura polos atau memang polos! Bagaimana dia bisa bicara seperti itu pada Seza! Apa Deva tidak tahu kalau kalimatnya itu memunculkan banyak harapan untuk Seza.

Gara-gara Corona (TERBIT DI GOOGLE PLAYBOOK)Where stories live. Discover now