Bab 26

34.8K 7.7K 312
                                    

Big or small lies are lies. Sekali berbohong, akan melahirkan kebohongan-kebohongan lainnya. Itulah yang kini dihadapi oleh Seza, mulutnya kelu dihantam ucapan dari ibunya, rasa bersalah yang tiada habisnya saat melihat wajah penuh kekecewaan ibunya.

"Bu, Seza bisa jelasin," ucapnya.

Namun sang ibu sepertinya tidak mau mendengarkan penjelasan Seza, beliau mengangkat tangan, isyarat agar Seza tidak meneruskan kata-katanya. "Ibu kecewa sama kamu," ucap ibunya lalu langsung meninggalkan Seza yang terpaku di tempatnya berdiri dengan air mata yang siap mengalir deras.

"Teh..." tangan kecil itu meraih jemari Seza, adiknya mengajak Seza untuk masuk ke kamar. Ditengah kekacauan yang dibuatnya sendiri Seza masih memiliki Salma. "Teteh mau minum?" tanyanya saat Seza sudah duduk di ranjang sambil menumpahkan tangisnya.

Seza menggeleng. Pikirannya masih terngiang kata-kata dari ibunya. Salma ikut duduk di samping Seza, anak itu diam menunggu hingga tangis kakaknya mereda.

Setelah bisa menguasai diri, Seza mulai bertanya pada Salma. Tidak mungkin kan ibunya tahu begitu saja mengenai pekerjaannya beberapa bulan ini, pasti ada yang sengaja memberitahunya.

"Tadi ada yang nelepon Ibu, katanya temen Teteh, cowok." Informasi dari Salma ini membuat pikiran Seza langsung mengarah pada Deva.

"Siapa?"

Salma mengangkat bahu. "Temen Teteh itu ngirimin Ibu foto-foto Teteh lagi nyapu teras rumah orang. Katanya Teteh nggak kerja di restoran, tapi jadi pembantu."

Seza mengembuskan napas. "Apa dokter Deva ya."

"Jadi Teteh beneran kerja jadi pembantu?" tanya Salma.

Tidak ada gunanya lagi berbohong, jadi Seza menjawab pertanyaan Salma dengan anggukan.

"Nggak pa-pa sih, ibu temanku juga gitu daripada kerja yang nggak halal. Teteh kan kerjanya halal."

Seza memaksakan diri untuk tersenyum sambil membelai lembut kepala adiknya. "Makasih ya Dek, nggak benci Teteh yang udah bohong."

"Aku nggak benci Teteh, tapi aku sedih kenapa Teteh harus bohong. Itu juga kata Ibu sih, Teh."

Seza mengangguk. "Memang seharusnya Teteh jujur dari awal," gumannya sambil menyesali apa yang sudah terjadi.

*****
Ibunya masih marah dan Seza belum menemukan cara untuk meluluhkan hati ibunya. Tadi pagi, ia berniat untuk menjelaskan semuanya, tetapi ibunya keburu pergi kerja. Kata Salma ibu sengaja pergi pagi-pagi, sepertinya untuk menghindari Seza.

Truth is like surgery, it hurts but cures. A lie as a pain killer, it gives instan relief, but has side effect forever.

Ya, seandainya saja Seza jujur sejak awal mungkin saja ada pertentangan dengan ibunya tetapi bisa saja akhirnya ibu mengizinkannya untuk bekerja, toh benar kata Salma tidak ada yang salah dari pekerjannya. Ibunya kecewa karena Seza berbohong, di saat seharusnya ibu menjadi tempatnya berbagi cerita dan keluh kesah tentang segala hal. Seza mengerti sekali kekecewaan yang dirasakan oleh ibunya itu.

Semalam, Seza sudah menceritakan semuanya pada Indri, juga pemikiran Seza tentang Deva yang mungkin ada dibalik ini semua. Namun sebaliknya Indri sama sekali tidak merasa kalau Deva terlibat. "Apa untungnya sih, Za buat dia?" tanya Indri di telepon semalam.

"Ya bisa aja kan, mungkin karena gue berhenti tiba-tiba."

"Nggak mungkin! Ini jelas bukan Deva, gue malah curiga kerjaan Monika."

"Tapi kata Salma yang chat Ibu itu cowok."

"Ya ampun, Za! Lewat chat lho, lo pikir berapa banyak akun fake yang nyomot foto orang di sosmed buat dimanfaatkan? Kok lo polos banget sih."

Gara-gara Corona (TERBIT DI GOOGLE PLAYBOOK)Where stories live. Discover now