#41 pil pahit

342 22 2
                                    

Jadwal periksa kandungan adalah salah satu momen yang selalu ku tunggu tunggu beberapa bulan belakangan ini. Hatiku selalu berbunga dan menghangat setiap kali akan mengetahui perkembangannya. Rasanya aku sudah jatuh cinta sejak pertama kali dia hadir di dalam rahimku.

Aku mematut diri sekali lagi di depan cermin, dengan senyum merekah yang tak lepas dari bibir. Pendar bahagia memenuhi ruang hatiku, meskipun Langit tak bisa menemani.

Aku harus bergegas bertemu dokter Lila sore ini, jika terlambat sedikit saja aku bisa menunggu lama karena pasiennya terbilang banyak, mungkin karena ia termasuk salah satu dokter kandungan terbaik di kota ini. Terlebih lagi Langit lebih memilih dokter perempuan untuk menangani kehamilan dan proses persalinanku nanti.

Pak Amin yang akan mengantar dan menjemputku, sebenarnya mama ingin sekali menemani tapi lagi lagi berbenturan dengan jadwal meriasnya.

"Bu, pak Amin sudah datang dan menunggu di luar," suara bik Imung membuatku sedikit tersentak dari lamunan sesaat.

"Oh iya makasih bik, bentar lagi keluar."

Dan di sepanjang perjalanan Langit menelpon, sudah tiga hari sejak kepergiannya setiap waktu dia selalu menghubungiku untuk bertukar kabar, menanyakan keadaanku atau sekedar meluncurkan seribu rayuan pulau kelapa demi mendengar aku tertawa. Ternyata tidak seburuk yang aku pikirkan, berjauhan dengannya justru menambah kekuatan cinta diantara kami, bersama jarak yang nyatanya menumbuhkan lebih banyak rindu.

"Pak Amin kalau mau pulang dulu gak apa apa, biasanya antri lama soalnya, nanti Senja bisa naik taxi pulangnya," seruku sebelum menutup pintu sesaat setelah mobil yang dikendarai pak Amin berhenti di depan tempat praktek dokter Lila.

"Waduh, jangan naik taxi mbak, nanti pak Amin bisa kena tegur mas Langit sama ibu Widia."

Aku mengulum senyum. "Kalau gitu jemput satu jam lagi aja," kataku yang segera diangguki oleh pak Amin.

Suasana tempat praktek dokter lila sudah tampak ramai. Untung saja aku sudah mendaftar lewat telepon dan nomor antriannya belum terlewat, syukurlah hanya menunggu dua nomor lagi untuk masuk ke dalam ruang periksa. Ku ambil tempat duduk di sudut paling pojok agar lebih leluasa.

Setengah jam kemudian aku masuk. Dokter Lila tersenyum ramah menyambut kehadiranku. Setelah saling menyapa dan bersalaman dokter Lila segera mulai memeriksa. Dia juga menanyakan tentang hasil general chek up yang ku lakukan kemarin dan sudah kuletakkan di atas meja kerjanya.

"Ok, Kondisi janin sejauh ini baik. Tetap perhatikan asupan gizi, istirahat cukup dan teratur minum vitamin yang saya berikan,untuk pemeriksaan USG kita lakukan mulai bulan depan," ucap dokter Lila singkat dengan ulasan senyum sesaat setelah memeriksa perutku. Aku mengangguk di iringi senyum cerah.

Dokter Lila kembali duduk di depan meja untuk memeriksa hasil general check up.
Aku merapikan baju dan segera mengikuti langkahnya, kemudian mengambil duduk berhadapan.

Aku masih menunggu dengan sunggingan senyum merekah. Dokter Lila masih mengamati hasil pemeriksaanku dengan seksama. Hening beberapa saat lamanya.

"Kadar haemoglobin kamu rendah sekali. Ini tidak baik untuk janin. Dan dari serangkaian hasil pemeriksaan tes darah menunjukkan kamu terkena anemia hemolitik autoimun."

Aku tak mengerti apa yang sedang diucapkan dokter Lila. Kurasa wajahnya terlalu serius saat mengatakannya. Otakku sedang berusaha mencernanya saat ini. Senyum yang sedari tadi menghiasi bibirku tiba tiba hilang entah kemana.

"Maksud dokter? Saya tidak mengerti, bisa tolong di jelaskan?"

"Bisa saya katakan ini termasuk kehamilan dengan resiko tinggi yang bisa mengancam nyawa ibu bahkan juga janin di dalamnya. Terlebih lagi juga ada indikasi jantung lemah pada ibu. yang saya takutkan ada komplikasi yang menimbulkan aritmia atau kardiomiopati saat melahirkan. Ada kemungkinan juga bayi lahir dengan berat badan rendah atau lahir prematur, kita harus siap dengan segala kemungkinannya. Tapi saya juga katakan akan selalu ada harapan di setiap kemungkinan. Semua tergantung ibu yang menjalani, saya hanya bisa membantu sebisa mungkin, tapi saya katakan sekali lagi, ini termasuk kehamilan beresiko tinggi."

Aku tergugu, bagai tersambar petir mendengarnya. Dadaku seperti dihantam ombak badai. Lalu aku tenggelam dan hanyut di dalamnya. Duniaku terasa hancur berkeping keping. Ku coba sekuat tenaga untuk tidak menangis meski dadaku semakin terasa sesak.

"Saya menginginkan bayi ini dokter, tolong bantu saya untuk melanjutkan kehamilan ini sampai persalinan nanti," kataku dengan bibir bergetar. Langit juga sangat menginginkan bayi ini begitu juga dengan mama dan papanya. Aku tidak akan sanggup mencabut kebahagiaan mereka demi keselamatanku sendiri. Aku percaya dan meyakini ada yang lebih berhak menentukan, seorang dokter hanyalah perantara. Aku yakin pasti bisa melewati semuanya.

"Dengan segala resikonya?" Dokter Lila menatapku nanar. Ia melepas kacamatanya sambil menunggu jawaban.

Aku mengangguk pelan. Setetes bening lolos begitu saja dari dua pelupuk mataku.

"Mungkin lebih baik kamu bicarakan dulu dengan suami,"

Aku menggeleng kuat. "Saya sudah yakin. Tolong dokter hargai keputusan saya, dan untuk sementara waktu jangan sampaikan hal ini pada suami saya, paling tidak sampai beberapa bulan lagi sampai janin ini kuat dan tumbuh besar di dalam rahim saya," kataku memohon. Aku tau tidak akan bisa menyembunyikannya lebih lama tapi membuat janin ini tumbuh akan menjadi peluang bagiku untuk meneruskan kehamilan.

Dokter Lila menghela napas berat.

"Sementara saya akan resepkan obat, dua minggu lagi kamu bisa datang terutama jika ada keluhan. Ada baiknya juga berkonsultasi dengan dokter spesialis hematologi. Jika bulan depan kadar hb kamu masih rendah terpaksa harus opname untuk terapi kartikosteroid injeksi. Semua obat pasti beresiko pada janin, namun kondisi kamu membutuhkan obat tersebut agar ibunya kuat karena hemoglobin sangat penting untuk perkembangan janin jadi kita ambil benefitnya saja dari obat tersebut. Semoga ibu dan janinnya baik baik saja,"

Ucapan dokter Lila membuatku sedikit lebih tenang. Aku mencoba kuat. Semua ibu di dunia ini pasti akan melakukan yang terbaik untuk buah hatinya. Apapun resikonya.
Ya, akan ku lakukan apapun untuk mengantarnya melihat alam semesta. Aku yakin semuanya akan baik baik saja. Karena keyakinan dan ucapan adalah doa.

"Terimakasih dokter," ucapku pelan, mencoba tersenyum, meski getir kurasa.

Tiba tiba bayangan Langit yang selalu mengelus perutku dan mengajaknya bicara melintas jelas. Aku menangis. Bagai menelan pil pahit.

***

Langit Senja (End)Hikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin