Prolog

7 1 0
                                    

Daun-daun kering berwarna coklat yang disapu oleh tukang kebun di sore hari itu menjadi saksi bisu betapa jenuhnya Reysha menunggu Sean yang sedang mengikuti rapat OSIS.

Langit sudah mulai petang, pertanda hari semakin sore, semakin pegal pula ia duduk dibawah pohon rindang dekat lapangan ditemani ponselnya yang ia mainkan sejak tadi untuk mengusir kebosanan dan air mineral dingin di sampingnya, dan juga semakin habis pula kesabarannya menunggu.

"Oii!"

"Masyaallah!" refleksnya terkejut, untung handphonenya tidak ia lemparkan sembarangan seperti saat itu. Reysha semakin sebal saat sang pelaku malah tertawa lebar seolah sedang menyaksikan komedi rating tertinggi yang sialnya membuat wajah Sean saat seperti itu semakin manis.

Shit!

Mengusir pikiran anehnya, Reysha berdiri langsung berkacak pinggang, siap melemparkan banyak protes yang akan membuat Sean diam mendengarkannya walaupun sebenarnya malas. "Kamu bilangnya cuma setengah jam tapi ini tuh dua jam lebih Sean. Korupsi waktu banyak amat sih, hah?! Tau gini mending pulang duluan, nggak liat nih aku udah lumutan, dasar nyebelin!"

Sean meringis sambil menggaruk belakang lehernya, "Maaf, mendadak tadi beneran deh nggak bohong." katanya sambil mengacungkan dua jari tangannya. "kalau gitu aku minta maaf deh, kamu mau apa aja akan aku beliin, gimana?"

"Gamauuuuuu!" Reysha melangkah menuju parkiran mendahului Sean yang kini berada di belakangnya, membuntutinya seperti anak ayam.

"Jangan marah dong, Rey, nanti aku makin sayang lho."

Demi handphone barunya yang ia beli seminggu yang lalu, ia berani bertaruh bahwa cewek lain pasti akan langsung luluh dan meloncat kegirangan jika Sean berkata seperti itu. Namun ini Reysha, spesies cewek yang berbeda. Bagaimana mungkin bisa baper sama sahabatnya sendiri, kan nggak lucu.

Memilih untuk mengabaikan perkataan Sean, Reysha terus berjalan hingga berada di samping motor hitam milik Sean. Masih banyak anak-anak organisasi yang belum pulang, memilih untuk mengobrol sebentar di parkiran.

Sean mengambil jaketnya yang ada di dalam tas lalu memakaikannya di pinggang mungil milik Reysha, karena rok di sekolah ini tergolong pendek. Reysha menurut saja, meskipun dia masih sebal dengan penantian panjangnya yang dibumbui bumbu-bumbu kesepian di tengah lapangan.

Banyak pasang mata yang menyaksikan mereka berdua. Meski semua orang di sekolah ini tahu mereka itu dekat, namun masih saja banyak yang merasa iri. Sean yang merupakan anak organisasi OSIS yang terkenal karena kepintarannya dan bisa dibilang tampan juga karena di sekolah ini limit cogan--padahal sekolah elite-- dan Reysha anak pengikut ekstrakulikuler melukis yang tentu saja, pandai melukis dan sering kali diikutkan lomba. Dua anak manusia yang bisa di bilang berpengaruh terhadap kondisi perbincangan disekolah ini.

"Dah, yok naik!"

Mereka meninggalkan area sekolah dengan motor milik Sean yang warnanya perpaduan antara hitam dan merah.

***

"Mamah mana?" Tanya Sean saat cowok itu baru saja sampai dirumah Reysha dan langsung duduk di sofa berwarna coklat muda kesayangannya untuk rebahan saat datang kemari.

"Siap-siap."

Sean mengalihkan pandangannya, "Mau ke mana?"

"Biasa." Jawab Reysha dengan pipi sebelah yang menggembung karena memakan sosis naga pedas kesukaannya.

"Oh, sama Papah juga? Di rumah sendiri lagi dong?"

"Nggak." Sambil menggeleng dua kali.

"Kok?"

"Ada bibi, sama paman tukang kebun juga. Oiya, Nana nanti kesini juga nemenin aku selama mereka pergi,"

"Nggak Elta sekalian?"

"Kamu kan tau Elta sulit tidur kalau nggak di rumahnya sendiri." Reysha memutar bola matanya. Sean memang sering lupa terhadap kondisi temannya yang satu itu.

"Masih gitu ya, Elta?"

Reysha hanya mengangguk sebagai jawabannya karena mukanya mulai memerah karena kepedasan. Sean yang paham langsung menyodorkan air minum yang ia beli di minimarket tadi, dan sebelumnya sudah ia bukakan tutupnya. "Kurangin makan pedesnya Rey, kasian perut kamu. Setidaknya kurangin level pedasnya lah."

Setelah minum habis setengah botol hingga perutnya kini terasa sedikit kembung, barulah Reysha menjawab pelan sambil meletakkan botol itu ke atas meja di depannya, "Lagi pengen Yan, besok-besok paling level sedang doang,"

"Bohong lagi nanti, kebiasaan. Kemarin-kemarin bilangnya juga gitu tapi kenyataannya lain." Sean menggeleng pasrah melihat tingkah manusia di sampingnya ini. Yang bisa ia lakukan untuk antisipasi sekarang adalah membawa obat maag kemanapun jikalau sakit maag nya kambuh dan obat diare jika makanan yang dimakan Reysha terlalu pedas dan porsinya banyak. Tentu saja, karena mereka kesana-sini selalu bersama. Jika Reysha pasti menolak, mengoceh bahwa ia akan selalu baik-baik saja, memenuhi isi tas mungilnya katanya. Bisa-bisanya. Jika mendadak sakit perut, baru bingung cari obat. Siapa lagi coba yang susah nyariin. Sean, tentu saja.

Memasang wajah seimut-imutnya agar Sean tidak marah, Reysha nyengir lebar, "Hehe..." Lalu perlahan-lahan tangannya terulur, mengambil tusuk terakhir sosis naga yang dibelinya lewat pesanan antar makanan tadi, dan datang sekitar sebelas menit sebelum Sean datang. Tujuannya sih agar tidak ketahuan Sean tapi... ya sudahlah.

"Sayang, Mamah berangkat dulu ya. Kamu baik-baik dirumah. Sean, Mamah titip Reysha ya, kalau nakal marahin aja dihukum juga nggak papa biar kapok, oke?" Kata Yuna.

"Oke Mah!" Jawab Sean semangat sambil tertawa.

"Mamah..." keluh Reysha, memasang muka cemberut.

"Tenang, kan ada Sean. Oiya, nanti katanya teman kamu juga ke sini, kan? Jadi, jangan takut udah gede juga. Yaudah, Mamah berangkat dulu ya, penerbangannya setengah jam lagi."

"Papah mana?"

"Papah udah duluan soalnya harus mampir ke kantor tadi, ada berkas yang ketinggalan."

"Kok aku nggak liat papa keluar?"

"Tadi pas kamu lagi ke kamar mandi kayaknya jadi nggak liat deh. "

"Oh gitu, yaudah hati-hati ya Mah, cepet balik."

"Iya sayang." Yuna memeluk anak semata wayangnya itu lalu menyambut Sean yang mencium punggung tangannya, lalu bergegas berangkat.

***

Better With SeanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang